Pages

Sabtu, 30 Juli 2016

Kitabul Jami (08): Anjuran Menjilat Jari Sesudah Makan

Malam Ahad, 26 Syawwâl 1437 H
_

#KITÂBUL_JÂMI' (08), #HADITS KE-6 :
#ANJURAN_MENJILAT_JARI_SETELAH_MAKAN

~~~~~~~~~~~~~~~~~~

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله.
.

Ikhwan dan akhawat, kita masih bersama Kitābul Adāb [maksudnya: Bâbul Adâb –ed.] dari "Kitābul Jāmi" yang terdapat di akhir "Bulūghul Marām" karangan Ibnu Hajar Asy-Syāfi'i rahimahullāhu Ta'āla. Kita sekarang masuk pada halaqah [pertemuan –ed.] yang ke-8.

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم: «إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا, فَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ, حَتَّى يَلْعَقَهَا, أَوْ يُلْعِقَهَا». مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. (١)
Dari Ibnu 'Abbas radhiyallāhu Ta'ālā 'anhumā, beliau berkata: Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wasallam bersabda,

"Jika salah seorang dari kalian makan makanan, jangan dia usap tangannya sampai [hingga –ed] dia menjilat tangannya tersebut, atau dia menjilatkan tangannya tersebut." (HR. Al-Bukhari no. 5035 [versi Fat-hul Bari no.5456] dan Muslim no. 3787 [versi Syarh Shahih Muslim no. 2031])

Kata Ibnu Hajar, diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.

👉 Ikhwan dan akhawat, hadits ini menjelaskan tentang salah satu adab dari adab² dalam memakan: seorang yang makan hendaknya dia membersihkan makanan, dan ini [merupakan] adab Islam yang sangat indah, agar kita dijauhkan dari sikap tabdzīr [pelakunya disebut mubadzir –ed.] dan sikap kufur kepada nikmat.

👉 Bayangkan, kalau makanan yang lezat belum habis, kemudian kita cuci piringnya atau kita cuci tangan kita, sehingga mengalirlah makanan tersebut bersama kotoran-kotoran.

Ini merupakan bentuk dari tidak bersyukur kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

👉 Oleh karenanya, Islam mengajarkan kita untuk bersyukur atas segala nikmat yang Allāh berikan kepada kita.

👉 Dalam hal makanan, kita berusaha menghabiskan makanan tersebut. Seorang makan sesuai dengan keperluannya, dan tatkala dia ambil makanan tersebut, maka dihabiskan, jangan sampai ada yang dibuang, sehingga dia menjilat sisa-sisa makanan yang ada, baik yang ada di tangannya ataupun yang ada di piringnya.

✖️ Maksud Nabi -shallallâhu 'alaihi wasallam-, di sini, bukanlah tatkala sedang makan dijilat-jilat tangannya, kemudian dia makan lagi, apalagi tatkala sedang makan berjama'ah. Tidak.

✔️ Maksudnya adalah di akhir tatkala selesai makan: selesai makan, dibersihkan, karena dalam hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wasallam mengatakan:

إِنَّكُمْ لاَ تَدْرُونَ فِى أَيِّهِ الْبَرَكَةُ
"Kalian tidak tahu di bagian mana makanan tersebut yang ada keberkahannya." (HR. Muslim no. 3792 [versi Syarh Shahih Muslim no. 2033] dari Shahabat Jabir bin Abdullah radhiyallāhu 'anhu)

👉 Tatkala makanan banyak dihadapan kita, Allāh meletakkan barakah di sebagian makanan tersebut. Kita tidak tahu, di mana barakah tersebut, apakah di awal makanan kita, di tengah makanan, atau di akhir makanan kita?

👉 Dan kalau pas kita mendapati keberkahan makanan tersebut, maka ini akan berpengaruh dengan ibadah kita:
✓Keberkahan membuat kita sehat.
✓ Keberkahan membuat kita semangat untuk beribadah.

Ini Allāh berikan keberkahan kepada makanan tersebut.

👉 Maka, [hendaknya] seseorang berusaha untuk menghabiskan makanannya, sehingga dia bisa—pasti—mendapatkan keberkahan makanan tersebut, karena diajarkan bagi kita untuk menjilat-jilat tangan kita yang masih bersisa-sisa makanan.

👉 Demikian juga, kata Nabi shallallāhu 'alayhi wasallam:

أَوْ يُلْعِقَهَا
"..Atau dia jilatkan kepada orang lain."

📌 Maksudnya, yaitu seperti antara suami dan istri.
✔️ Di antara bentuk rasa cinta suami dan istri, istri terkadang menjilat tangan suaminya atau suami menjilat tangan istrinya.
✔️ Dan ini di antara perkara yang disunnahkan, tidak jadi masalah kalau mereka sedang makan, mereka saling suap menyuapi atau saling menjilati jari diantara mereka.

📌 Atau antara ayah dengan anak. Ini tidak mengapa dan diajarkan dalam Islam.

👉 Oleh karenanya, jangan dengarkan perkataan sebagian orang yang merendahkan adab Nabi shallallāhu 'alayhi wasallam dalam masalah ini.

Mereka mengatakan, "Apa itu Islam, kok adabnya buruk sampai menjilat-jilat jari? Ini adalah perkara yang menjijikkan."

Ini tidak benar. Maksud Nabi -shallallâhu'alaihi wasallam- bukan kita menjilat-jilat jari kita tatkala sedang makan bersama di tengah makan, akan tetapi maksudnya adalah setelah di akhir makan, untuk menunjukkan rasa syukur kita kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Tidak ada sedikit makananpun yang kita buang, tapi semuanya kita makan.

👉 Dan kita ingat, masih banyak orang-orang miskin yang kesulitan mendapatkan makan dan kelaparan. Apakah kita kemudian makan, kemudian ada sisanya lalu kita buang?

👉 Seandainya, sisa-sisa tersebut kita habiskan, [ini] menunjukkan rasa syukur kita kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Demikianlah apa yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini.

وبالله التوفيق والهداية.

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته. 
.

______________________________

🌍 BimbinganIslam[dot]com
Selasa, 21 Syawwal 1437 H / 26 Juli 2016 M
👤 Ustadz Firanda Andirja, M.A. (Pengajar resmi di Masjid Nabawi, Madinah)
📗 Kitābul Jāmi' | Bulūghul Marām
🔊Hadits ke-6 | Anjuran Menjilati Jari Sesudah Makan

📦 Donasi Operasional dan Pengembangan Dakwah Group Bimbingan Islam
| Bank Mandiri Syariah
| Kode Bank 451
| No. Rek : 7103000507
| A.N : YPWA Bimbingan Islam
| Konfirmasi Transfer : +628-222-333-4004

📮 Saran dan Kritik
Untuk pengembangan dakwah group Bimbingan Islam silahkan dikirim melalui
SaranKritik@bimbinganislam[dot]com

Kitabul Jami (07): Adab di Dalam Majelis

Malam Ahad, 26 Syawwâl 1437 H
_

#KITÂBUL_JÂMI' (07), #HADITS KE-5 :
#ADAB_DI_DALAM_MAJELIS 

~~~~~~~~~~~~~~~~~~

ADAB-ADAB BERMAJELIS

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
.

Kita masuk pada halaqah [pertemuan –ed] yang ke-7, [masih] tentang Bābul Adāb.

وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم : "لاَ يُقِيْمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيْهِ، وَلَكِنْ تَفَسَّحُوْا وَتَوَسَّعُوْا." مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Ibnu 'Umar radhiyallāhu Ta'ālā 'anhumā, beliau berkata: Rasūlullāh shallallāhu'alayhi wasallam bersabda,

"Janganlah seseorang memberdirikan saudaranya dari tempat duduknya, kemudian dia gantikan posisi tempat duduk saudaranya tersebut, akan tetapi hendaknya mereka melapangkan dan merenggangkan." (Muttafaqun 'alaihi: HR. Al-Bukhāri dan Muslim)

👉 Para ikhwan dan akhawat yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, hadits ini kembali menjelaskan kepada kita tentang agungnya Islam: bahwasanya Islam mengajarkan berbagai macam adab, di antaranya [adalah] adab terhadap perkara-perkara yang dianggap sepele, seperti adab bermajelis, (ini) diatur dalam Islam.

👉 Dalam hadits ini, diajarkan dua adab kepada kita: 

■ ADAB PERTAMA: 
📌 Adab yang berkaitan dengan orang yang datang terlambat di majelis.

📌 Orang tersebut jika datang terlambat di majelis, maka hendaknya dia duduk di mana tempat dia berada (tempat dia dapat). Ada tempat yang lapang, yang kosong, maka dia duduk di situ. Jangan sampai dia kemudian masuk ke tengah-tengah majelis melewati pundak-pundak orang atau memberdirikan seorang (disuruh pergi), kemudian dia menggantikan tempat duduk tersebut.

Ini tidak diperbolehkan, siapapun orangnya, karena hal ini menunjukkan adanya keangkuhan, dan Islam tidak menginginkan hal ini. Islam mengajarkan tawādhū'.

📌 Kalau ada saudara kita yang sudah lebih dahulu duduk di tempat tersebut, maka bukan hak kita untuk membuat dia berdiri, kemudian kita menggantikan posisinya duduk di tempat tersebut.

■ ADAB KEDUA:
📌 Berkaitan dengan orang-orang yang sudah terlanjur lebih dahulu duduk, maka yang dianjurkan kepada mereka [adalah] untuk melapangkan majelis, bahkan Allāh menyebutkan hal ini dalam Al-Qurān. Kata Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ
"Wahai orang-orang yang beriman, jika dikatakan kepada kalian, 'Lapangkanlah (renggangkanlah) majelis kalian,' maka renggangkanlah (lapangkanlah) majelis kalian, niscaya Allāh akan beri kelapangan pada kalian." (QS. Al-Mujādilah: 11)

📌 Artinya, kalau kita lihat saudara kita yang datang terlambat ingin masuk di majelis, maka segera kita lapangkan dan berikan dia tempat, agar dia bisa duduk menghadiri majelis kita bersama-sama.

Dan ini merupakan adab yang berkaitan dengan orang-orang yang sudah datang terlebih dahulu.

📌 Demikian juga jika ternyata orang yang terlambat datang tadi mengatakan, "Yā ikhwān, tafassahū. Tolong berikan saya tempat, tolong berikan saya tempat," maka kita dengarkan ucapannya, sebagaimana perintah Allāh tadi:

إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ
"Jika dikatakan kepada kalian, 'Lapangkanlah (renggangkanlah),' maka lakukanlah, niscaya Allāh akan berikan kelapangan pada kalian."

👉 Sungguh, indah adab-adab Islam, mengajarkan bagaimana adab dalam bermajelis.

👉 Para ulama juga menyebutkan,  majelis yang dimaksud dalam hadits ini adalah majelis umum yang berkaitan dengan kebaikan.

👉 Oleh karenanya, termasuk di dalamnya adalah, misalnya:
• Majelis dzikir
• Majelis ilmu
• Majelis pengajian
• Majelis shalat Jum'at.
⇒ Orang-orang menunggu shalat Jum'at sementara majelis sudah full, kalau masih ada tempat yang renggang, maka hendaknya dia memberikan tempat pada saudaranya.

👉 Ini menunjukkan saling cinta kasih di antara saudaranya. Jadi, ingin saudaranya juga menghadiri majelis kebaikan. Dia tidak ingin menyakiti hati saudaranya. Dia berikan waktu kesempatan kepada saudaranya untuk ikut dalam majelis tersebut. Ini semuanya menunjukkan akan indahnya Islam.

👉 Yang jadi pertanyaan, misalnya, ada seorang ustadz datang (hadir) dalam majlis, kemudian ada muridnya yang tidak enak sama ustadz tersebut, kemudian berdiri [dan] mengatakan [untuk] mempersilakan ustadz tadi untuk duduk. Maka apa yang dilakukan ustadz ini? Apakah dia duduk menggantikan tempat muridnya tersebut?

📌 Min bābil warā (kalau kita warā), maka hendaknya kita tidak mengambil posisi murid kita tersebut, meskipun dia dalam rangka untuk menghormati kita, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Shahabat Ibnu 'Umar radhiyallāhu Ta'ālā 'anhumā:

✔️ Ibnu 'Umar radhiyallāhu Ta'ālā 'anhumā, kalau dia datang di majelis langsung—karena sebagian orang menghormati dia—maka orang tersebut mempersilakan Ibnu 'Umar untuk menggantikan posisinya, namun Ibnu 'Umar pun tidak mau. Dia tawarru', dia tidak ingin mengambil hak orang lain, padahal mereka [melalukan demikian] karena mereka menghormati Ibnu 'Umar.

👉 Allāh mengatakan, demikianlah adab yang seharusnya kalau kita datang, kemudian ada orang yang berdiri mempersilakan untuk mengambil posisinya, maka kita tolak, kecuali khawatir kalau orang tersebut akan tersinggung—misalnya—atau karena orang tersebut sangat cinta kepada kita. Maka, ini masalahnya lain.

👆 Kita ingin memasukkan rasa senang pada dirinya, maka tidak mengapa kita duduk kalau memang halnya sudah demikian. Akan tetapi, kalau sekedar dia malu, maka tidak boleh kita mengambil hak orang lain.

Demikianlah, para ikhwan dan akhawat. Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla memudahkan kita untuk bisa menjalankan adab-adab Islami, adab-adab Nabi shallallāhu 'alayhi wasallam, sehingga kita bisa bertemu dengan Nabi shallallāhu 'alayhi wasallam di surga kelak.

آمين يا رب العالمين.

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته.
.

______________________________

🌍 BimbinganIslam[dot]com
Senin, 20 Syawwal 1437 H / 25 Juli 2016 M
👤 Ustadz Firanda Andirja, M.A. (Pengajar resmi di Masjid Nabawi, Madinah)
📗 Kitābul Jāmi' | Bulūghul Marām
🔊 Hadits ke-5 | Adab-Adab Bermajelis

📦 Donasi Operasional dan Pengembangan Dakwah Group Bimbingan Islam
| Bank Mandiri Syariah
| Kode Bank 451
| No. Rek : 7103000507
| A.N : YPWA Bimbingan Islam
| Konfirmasi Transfer : +628-222-333-4004

📮 Saran dan Kritik
Untuk pengembangan dakwah group Bimbingan Islam silahkan dikirim melalui
SaranKritik@bimbinganislam[dot]com

Fiqih Syafiiy (04): Macam-Macam Air untuk Bersuci

Malam Ahad, 26 Syawwâl 1437 H
_

#FIQIH_SYAFIIY (04) :
#AIR_YANG_BOLEH_DIGUNAKAN_UNTUK_BERSUCI 

~~~~~~~

Matan Kitab

المياه التي يجوز بها التطهير سبع مياه ماء السماء وماء البحر وماء النهر وماء البئر وماء العين وماء الثلج وماء البرد
"Macam-macam air yang dapat dibuat untuk bersuci ada 7 (tujuh), yaitu:
✔️ air hujan (langit),
✔️ air laut,
✔️ air sungai,
✔️ air sumur,
✔️ air sumber (mata air),
✔️ air salju,
✔️ air dingin."

(Fiqh At-Taqrîb / Matn Abî Syujâ')

➖➖➖➖➖➖➖➖

MACAM-MACAM AIR YANG DIPERBOLEHKAN UNTUK BERSUCI

بسم اللّه الرحمن الرحيم.

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته.

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على أسرف الأنبيآء والمرسلين نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين. أما بعد.
.

Para sahabat "Bimbingan Islam" sekalian yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada halaqah [pertemuam –ed.] yang ke-4 ini, kita akan membacakan kitab Matan Abū Syujā'. Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla memberkahi dan memudahkan kita semua.

قال المألف : (( كِتَابُ الطّهَارَةِ ))
Berkata Penulis rahimahullāh: (( Kitāb Ath-Thahārah ))

👉 Ath-Thahārah (الطّهَارَةِ)
📌 Makna secara bahasa adalah an-nazhāfah (أَلنَّظَافَةُ), yaitu kebersihan.
📌 Makna secara istilah adalah:

عِبَارَةٌ عَنْ رَفْعِ الْحَدَثِ وَ إِزَالَةِ النَّجَسِ
"Proses mengangkat hadats dan menghilangkan najis."

👉 Al-hadats (الحَدَثُ) adalah:

وصف قائم بالبدن يمنع من الصلاة ونحوها مما تشترط له الطهارة
"Sifat atau status pada diri seseorang yang menghalangi dari shalat dan ibadah-ibadah yang lainnya, yang disyaratkan pada ibadah tersebut thahārah."

Misalnya, seorang yang keluar angin dari duburnya, maka statusnya dia berhadats dan menghalanginya untuk melaksanakan ibadah shalat sampai dia thahārah (berwudhū') yang mengangkat hadats tersebut.

👉 Najis adalah:

كل عين يجب التطهر منها
"Segala sesuatu zat yang kita diwajibkan secara syari'at untuk bersuci darinya."

Misalnya, kotoran manusia, maka ini adalah zat yang najis. Seseorang yang terkena kotoran manusia, maka dia wajib untuk membersihkannya sebelum dia melaksanakan ibadah shalat.

👉 Para Sahabat sekalian yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, para ulama memulai kitab fiqih mereka diawali dengan pembahasan "Kitāb Thahārah", karena kitab ini berkaitan dengan "Kitāb Shalat", di mana shalat disyaratkan untuk bersuci sebelum melaksanakan ibadah tersebut.

👉 Dan Penulis, di sini, memulai "Kitab Thahārah" dengan menjelaskan tentang bermacam-macam (jenis-jenis) air yang bisa digunakan untuk bersuci. Berkata Penulis rahimahullāh:

(( الْمِيَاهُ الَّتِي يَجُوْزُ التَّطْهِيْرُ بِهَا سَبْعُ مِيَاه ٍ))
(( Air yang diperbolehkan untuk digunakan dalam bersuci ada 7 macam ))

📌 PERTAMA

(( مَاءُ السَّمآء ِ))
(( Air dari langit ))

Yaitu hujan. Dalilnya adalah surah Al-Anfāl, ayat 11. Allāh Ta'āla berfirman:

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ السَّمَاءِ مَاءً لِّيُطَهِّرَكُم بِهِ
"Dan Dia [Allâh] menurunkan kepada kalian air dari langit, agar kalian bersuci dengannya."

📌 KEDUA

(( وَمَاءِ الْبَحْر ِ))
(( Air laut ))

Atau (( مَاءُ الْبِحَارِ )) dalam shahīh yang lain, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wasallam yang diriwayatkan dalam Ashhāb As-Sunān. Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wasallam bersabda tatkala ditanya tentang air laut, beliau mengatakan:

وَالطَّهُورُ ماؤُهُ ، الحِلُّ ميتتُهُ
"(Bahwasanya) air laut tersebut adalah suci airnya dan halal bangkainya."

Yaitu, hewan air laut apabila menjadi bangkai, maka halal.

📌 KETIGA

(( وماء النهر ))
(( Air sungai ))

Dan ini adalah ijma' [kesepakatan –ed.] para ulama bahwasanya air sungai adalah yang suci, dan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wasallam bersabda:

مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ كَمَثَلِ نَهَرٍ جَارٍ غَمْرٍ عَلَى بَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فيه كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ ». وَمَا يُبْقِى ذَلِكَ مِنَ الدّنَسِ
"Permisalan shalat lima waktu adalah seperti sungai yang mengalir, yang melimpah ruah airnya di depan pintu seseorang di antara kalian, kemudian dia mandi setiap hari 5 waktu, maka apakah tersisa sedikit pun kotoran?" (HR. Muslim)

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wasallam memisalkan dengan air sungai yang digunakan untuk bersuci.

📌 KEEMPAT

(( وَ مَاءُ الْبِئْر ِ))
(( Air sumur ))

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imām At-Tirmidzi, di mana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wasallam berwudhū' dari air sumur Budhā'ah, dan tatkala Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wasallam ditanya, maka Beliau mengatakan:

الْمَاءُ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
"(Bahwasanya) air itu tidak menajiskan segala sesuatu apapun."

📌 KELIMA

(( وَمَاءُ الْعَيْن ِ))
(( Mata air ))

Yang maknanya sama dengan air laut dan air sungai, maka hukumnya pun suci.

📌 KEENAM

(( وَمَاءُ الثَّلْج ِ))
(( Air salju ))

📌 KETUJUH

(( وَمَاءُ الْبَرَدِ ))
(( Air embun ))

Dalilnya, hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wasallam tentang doa istiftah, ketika beliau shallallāhu 'alayhi wasallam berdoa:

اللهم اغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ
"Ya Allāh, cucilah dosa-dosaku dengan air salju dan air embun." (HR. Al-Bukhari 2/182 dan Muslim 2/98)

Demikian yang bisa kita sampaikan.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
.
______________________________

🌍 BimbinganIslam[dot]com
Jum'at, 24 Syawwal 1437 H / 29 Juli 2016 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.
📗 Matan Abi Syuja' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 04 | Macam-Macam Air yang Diperbolehkan untuk Bersuci

📦 Donasi Operasional dan Pengembangan Dakwah Group Bimbingan Islam
| Bank Mandiri Syariah
| Kode Bank 451
| No. Rek : 7103000507
| A.N : YPWA Bimbingan Islam
| Konfirmasi Transfer : +628-222-333-4004

📮Saran dan Kritik
Untuk pengembangan dakwah group Bimbingan Islam silahkan dikirim melalui
SaranKritik@bimbinganislam[dot]com

Sabtu, 23 Juli 2016

Fiqih Syafiiy (03): Biografi Imam Asy-Syafiiy dan Abu Syuja

Ahad pagi, 19 Syawwâl 1437 H
_

RINGKASAN FIQIH SYAFI'I (03) :

BIOGRAFI IMĀM ASY-SYĀFI'I DAN IMĀM ABŪ SYUJĀ'

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد.
.

Para ikhwah sekalian, para sahabat yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada halaqah yang ke-3 ini, kita akan mengenal secara ringkas tentang Imām Asy-Syāfi'i dan Imām Abū Syujā'.

IMĀM ASY-SYĀFI'I

• Beliau bernama Muhammad bin Idrīs bin Al-'Abbās bin 'Utsmān bin Syāfi', yang dikenal sebagai Imām Asy-Syāfi'i.

• Beliau lahir pada tahun 150 H.
⇒ Pada tahun tersebut, meninggal Imam Abū Hanīfah. Oleh karena itu, orang-orang pun mengatakan:

مات الإمام و ولد الإمام
"Meninggal seorang imam, digantikan kelahiran seorang imam yang lainnya."

• Beliau adalah seorang imam yang masyhūr dari kalangan kaum muslimin dan memiliki pendapat (madzhab) yang tersebar ke seluruh penjuru dunia.

• Imām Asy-Syāfi'i lahir di Ghazzah, Palestina, dalam keadaan yatim.
⇒ Perhatian yang besar sang ibu kepada Imām Asy-Syāfi'i akan pendidikan Imām Asy-Syāfi'i menyebabkan ibu Imām Asy-Syāfi'i memutuskan untuk berpindah ke kota Mekkah, yang mana pada saat itu kota Mekkah dipenuhi oleh para ulama di berbagai cabang ilmu.

• Imām Asy-Syāfi'i mulai menuntut ilmu dengan menghafal Al-Quran.
⇒ Beliau hafal Al-Qurān pada saat umur beliau mencapai 7 tahun.
⇒ Dan terus menuntut ilmu sehingga dapat menghafalkan kitab Al-Muwaththa' [karya] Imām Mālik pada umur beliau mencapai 10 tahun.
⇒ Dan terus menuntut ilmu sampai beliau diperbolehkan untuk berfatwa, dikatakan, pada saat umur 15 tahun (pada riwayat yang lain: pada saat umur 18 tahun).
⇒ Dan beliau pun terus menuntut ilmu, baik kepada Imam Mālik maupun kepada ulama yang lainnya, sehingga menguasai berbagai cabang ilmu di dalam agama.

• Imām Asy-Syāfi'i rahimahullāh, beliau dikenal sebagai ulama yang tawādhu' yang sangat dermawan.
⇒ Dan keluasan ilmu beliau, kecerdasan otak beliau menjadikan pendapat-pendapat beliau sebagai rujukan bagi kalangan ulama yang lainnya.

• Imām Asy-Syāfi'i, beliau memiliki karya yang sangat banyak, di antara yang terkenal [adalah] Al-'Umm dan Ar-Risālah.

• Dan Imām Asy-Syāfi'i, beliau wafat pada tahun 204 H, dengan meninggalkan manfaat yang besar bagi kaum muslimin. Rahimahullāhu rahmatan wāsi'ah.

IMĀM ABŪ SYUJĀ'

• Beliau adalah Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Asfahāni, salah seorang ulama Asy-Syafi'iyyah yang terkenal. Dan beliau dikenal dengan panggilan Al-Qādhi Abū Syujā' ("Al-Qādhi" yaitu hakim)

• Beliau belajar fiqih Asy-Syāfi'i lebih dari 40 tahun di kota Bashrah.

• Abū Syujā' lahir pada tahun 434 H. Dikatakan, tahun 533 H.

• Dan dikenal sebagai seorang ulama yang sangat dermawan, yang ahli ibadah, yang wara', yang shālih, yang memiliki ilmu yang luas, dan sangat taat di dalam melaksanakan agama.

• Imām Abū Syujā', diriwayatkan, bahwasanya beliau memiliki umur yang sangat panjang, yaitu mencapai 160 tahun dan dengan kondisi yang sehat wal 'āfiyat.
⇒ Tatkala beliau ditanya tentang rahasianya, maka beliau mengatakan:

ما عصيت الله بعضو منها في الصغر، فحفظها الله في الكبر
"Saya tidak pernah, di waktu muda saya, bermaksiat dengan Allāh walaupun dengan 1 anggota tubuh saya, maka (alhamdulillāh) Allāh menjaganya di masa tua saya."

• Beliau menulis Matan Abū Syujā' karena permintaan orang-orang agar beliau meringkas (membuat ringkasan) tentang madzhab Syāfi'i yang mudah dipelajari dan mudah untuk dihafalkan.
⇒ Dan Matan Abū Syujā' ini terus dipelajari sampai saat ini, menunjukkan [bahwa] Matan tersebut memiliki kelebihan.

✓Dan kita berharap keikhlashan dari sang penulis, sehingga Allāh Subhānahu wa Ta'āla menjadikan dia kekal, menjadikan dia terus dipelajari oleh kaum muslimin.

• Imām Abū Syujā' menjabat sebagai seorang qādhi (hakim). Namun, di akhir hayatnya, beliau sengaja berpindah ke Madinah dalam rangka untuk membaktikan diri melayani Masjid An-Nabawi dengan membersihkannya, kemudian menggelar tikar dan melayani para jamā'ah sampai akhir hayat beliau.

Demikianlah tentang kedua Imam ini secara ringkas. Rahimahumallāhu rahmatan wāsi'ah. Dan kita cukupkan halaqah yang ke-3.

وَصَلَّى الله عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ والسلّم
وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
.
______________________________

🌍 BimbinganIslam[dot]com
Jum'at, 17 Syawwal 1437 H / 22 Juli 2016 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.
📙 Muqaddimah Bagian 3
🔊 Kajian 03 |  Biografi Imām Asy-Syāfi'i dan Imām Abū Syujā'

~~~~~~~~~~~~~~~

📦Donasi Operasional dan Pengembangan Dakwah Group Bimbingan Islam
| Bank Mandiri Syariah
| Kode Bank 451
| No. Rek : 7103000507
| A.N : YPWA Bimbingan Islam
| Konfirmasi Transfer : +628-222-333-4004

📮Saran dan Kritik
Untuk pengembangan dakwah group Bimbingan Islam silahkan dikirim melalui
SaranKritik@bimbinganislam[dot]com

Kitabul Jami (06): Larangan Berbisik antara Dua Orang ketika Sedang Bertiga

Ahad pagi, 19 Syawwâl 1437 H
_

KITÂBUL JÂMI' (06) :

LARANGAN BERBISIK ANTARA DUA ORANG KETIKA SEDANG BERTIGA
.

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
.

Ikhwan dan akhawat sekalian, kita lanjutkan pada halaqah yang ke-6 dari Kitābul Jāmi', yaitu bab tentang "Adab".

وَعَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم: «إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً, فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الْآخَرِ, حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ; مِنْ أَجْلِ أَنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُهُ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ.
Hadits dari Ibnu Mas'ūd radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, beliau berkata: Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wasallam bersabda,

"Jika kalian bertiga, maka janganlah 2 orang berbicara berbisik-bisik berduaan, sementara yang ketiga tidak diajak, sampai kalian bercampur dengan manusia, karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih." (HR. Al-Bukhāri dan Muslim, dan lafazhnya terdapat dalam Shahīh Muslim no. 4053, [versi Syarh Shahīh Muslim no. 2184])

👉 Ikhwan dan akhawat yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, hadits ini menunjukkan akan agungnya Islam, bahwasanya Islam adalah agama yang sempurna, mengatur segala hal sampai pada perkara-perkara yang mungkin dianggap sepele, seperti adab makan, adab minum, dan adab yang lain-lain, termasuk di antaranya adab bergaul.

👉 Di sini, lihat bagaimana Islam mengatur tatkala seorang sedang ber-3; jangan sampai cuma 2 orang berkumpul, kemudian berbicara berbisik-bisik, sementara yang ke-3 ditinggalkan. Apa sebabnya? Kata Nabi shallallāhu 'alayhi wasallam:

مِنْ أَجْلِ أَنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُه 
"..Karena perbuatan ini bisa menjadikan orang yang ke-3 bersedih."

⇒ Timbul kesedihan dalam dirinya, kenapa dia tidak diajak ngobrol. Dan Islam memperhatikan hal ini, Islam tidak ingin seorang menyedihkan saudaranya.

⇒ Juga bisa timbul dalam dirinya sū-uzhan (persangkaan-persangkaan yang buruk), "Mungkin mereka ber-2 sedang meng-ghībahi, ngerumpiin, menjelek-menjelek-jelekkan saya." Timbul persangkaan-persangkaan yang syaithan terkadang mendiktekan kepada orang yang ke-3 tersebut.

👉 Oleh karenanya, Allāh sebutkan, dalam Al-Qurān, masalah ini dalam surat Al-Mujādalah ayat 10:

إِنَّمَا النَّجْوٰى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا
"Sesungguhnya najwā (berbisik-bisik) dari syaithān untuk menjadikan orang-orang yang beriman bersedih."

⇒ Hal ini menyebabkan orang yang ke-3 bersedih.

👉 Oleh karenanya, bagaimana solusinya? Kata Nabi shallallāhu 'alayhi wasallam:

ِحَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ
"..Sampai kalian bercampur (berbaur) dengan manusia."

Kalau sudah bercampur dengan manusia (berkumpul dengan banyak orang), maka tidak akan menimbulkan kesedihan bagi orang ke-3.

⇒ Dua orang ini ngobrol, orang yang ke-3 juga bisa mencari teman ngobrol yang lain, maka tidak jadi masalah. Yang jadi masalah, jika ada sekumpulan orang kemudian semuanya ngobrol bareng-bareng dan yang satu 1 tidak diajak.

👉 Oleh karenanya, meskipun lafazh hadits disebutkan, "Jika kalian ber-3, kemudian 2 orang ngobrol dan satunya tidak diajak," maka ini mencakup jumlah yang lebih, kata para ulama. Contohnya:

• Ada 4 orang, kemudian 3 orang ngobrol sendiri, kemudian yang 1 tidak diajak.
⇒ Maka juga termasuk dalam hadits ini. Ini dilarang, karena bisa menimbulkan kesedihan bagi orang yang ke-4.

• Demikian juga kalau ada 5 orang, kemudian 4 orang ngobrol sendiri, yang ke-5 tidak diajak.
⇒ Maka ini juga dilarang, karena menyedihkan orang yang ke-5 dan seterusnya.

• Yang ke-6, ke-7, dan selanjutnya.

Karena 'illah (sebab) larangan dari hadits ini adalah:
◆ Jangan sampai membuat sedih orang yang tidak diajak ngobrol tersebut.
◆ Jangan sampai timbul persangkaan-persangkaan yang buruk dalam diri orang tersebut.

👉 Oleh karenanya, para ulama menyebutkan, di antara bentuk najwā yang terlarang adalah:

◆ Jika ada 3 orang, kemudian 2 orang ini ngobrol dengan bahasa yang tidak dipahami oleh orang ke-3. Inipun dilarang, meskipun mereka ber-3 dalam kondisi tubuh bersamaan, artinya 2 orang tidak menyepi (tetapi bareng-bareng ber-3), akan tetapi 2 orang ngobrol dengan bahasa yang tidak difahami orang ke-3.
⇒ Ini tidak diperbolehkan, karena hukumnya sama, seakan-akan dia tidak diajak ngobrol.

Kalau diajak ngobrol, kenapa dengan bahasa yang tidak dia pahami?

✓Akan membuat dia sedih: merasa dia tidak pantas atau merasa ada suatu rahasia yang berkaitan dengan dirinya, atau lainnya.
✓Akan datang syaithan mendiktekan hal-hal yang buruk dalam dirinya.

👉 Oleh karenanya, lihatlah indahnya Islam. Hadits ini sebenarnya hanyalah sekedar sampel (contoh).

⇒ Maksudnya, jangan sampai seseorang menyedihkan saudaranya. Seorang harus berusaha menjaga perasaan  saudaranya. Baik dia menyedihkan saudaranya dengan perkataannya, tidak boleh, apalagi dengan perbuatannya, apalagi dengan sikapnya, juga tidak boleh.

Mungkin tidak ada ucapan yang buruk dikeluarkan dari mulutnya, tapi dengan sikapnya, menjadikan saudaranya sedih. Inipun tidak boleh.

👉 Lihat, najwā dalam hadits ini tidak berkaitan dengan ucapan yang keluar, tapi sikap, yaitu sikap 2 orang yang berbisik-bisik berdua-dua, ini menyedihkan orang yang ke-3. Ini dilarang, apalagi kalau kesedihan tersebut timbul dengan perkataan, apalagi dengan perbuatan.

👉 Dan juga hadits ini menunjukkan seseorang dituntut jangan sampai menimbulkan persangkaan-persangkaan yang buruk dalam saudaranya dan sahabatnya.

Demikian.

وبالله التوفيق والهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
.
______________________________

🌍 BimbinganIslam[dot]com
Selasa, 14 Syawwal 1437 H / 19 Juli 2016 M
👤 Ustadz Firanda Andirja, M.A.
📗 Kitābul Jāmi' | Bulūghul Marām
🔊 Hadits ke-4 | Larangan Berbisik antara Dua Orang ketika Sedang Bertiga

~~~~~~~~~~~~~~~~~~

📦Donasi Operasional & Pengembangan Dakwah Group Bimbingan Islam
| Bank Mandiri Syariah
| Kode Bank 451
| No. Rek : 7103000507
| A.N : YPWA Bimbingan Islam
| Konfirmasi Transfer : +628-222-333-4004

📮Saran dan Kritik
Untuk pengembangan dakwah group Bimbingan Islam silahkan dikirim melalui
SaranKritik@bimbinganislam[dot]com

Kitabul Jami (05): Hakikat Kebaikan dan Dosa (02)

Ahad pagi, 19 Syawwâl 1437 H
_

KITÂB AL-JÂMI' (05), HADITS KE-3 (02):
HAKEKAT KEBAIKAN DAN DOSA (BAGIAN 2)

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
.

Kita masuk pada halaqah yang ke-5, masih bersama hadits:

عَنِ النَّوَّاسِ ابْنِ سَمْعَانَ رضي اللّه عنه قَالَ سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللّهِ صلّى اللّه عليه وسلّم عَنِ الْبِرِّ وَ اْلأِثْمِ فَقَالَ اَلْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَ اْلأِثْمُ مَا حَاكَ فِى صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ (أخرجه مسلم)
Dari Shahabat An-Nawās bin Sam'ān radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, dia berkata:

Aku bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wasallam tentang kebajikan dan tentang dosa. Beliau bersabda, "Kebajikan adalah akhlaq yang mulia, dan dosa adalah apa yang membuat hatimu gelisah dan engkau tidak suka kalau orang-orang melihat apa yang engkau lakukan tersebut." (HR. Muslim no. 4632 [versi Syarh Muslim no. 2553])

Telah kita bahas pada pertemuan sebelumnya tentang makna "al-birru husnul khuluq (kebajikan adalah akhlaq yang mulia)".

Dan pada kesempatan kali ini, kita akan membahas potongan hadits yang ke-2, yaitu tentang "Dosa".

وَاْلأِثْمُ مَا حَاكَ فِى صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
"Dosa adalah apa yang menggelisahkan engkau di hatimu dan engkau tidak suka jika orang-orang melihat kau melakukannya."

⇒ Hadits ini menjelaskan tentang barometer untuk mengenal dosa. Tentunya, dosa-dosa adalah melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

👉 Untuk mengenal dosa, kita bisa melihat dengan mempelajari Al-Qurān dan sunnah-sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wasallam:

■ Apa yang dilarang oleh Allāh dalam Al-Qurān, maka itu adalah dosa.

■ Apa yang dilarang oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wasallam dalam hadits-haditsnya, maka itu adalah dosa.

👉 Namun terkadang, ada perkara yang kita lakukan yang kita tidak sempat untuk melihat/mengecek dalilnya, atau kita tidak tahu dalilnya, tetapi tatkala kita hendak melakukannya, muncul kegelisahan dalam dada kita dan ketidaktenangan dalam hati kita tatkala kita hendak melakukannya. Ingatlah, ini merupakan ciri dosa.

👉 Karena dalam hadits ini, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wasallam menyebutkan barometer dan indikator untuk mengenal dosa. Beliau menyebutkan 2 ciri, yaitu:
⑴ Menjadikan dadamu gelisah
⑵ Engkau tidak suka untuk dilihat oleh orang lain

👉 Kalau Anda melakukan suatu perkara, kemudian Anda merasa tenang, hati tidak merasa gelisah, dan kalau orang lain tahu pun tidak jadi mengapa, maka ini bukan dosa.

👉 Tapi tatkala Anda melakukan sesuatu, kemudian ternyata hati Anda gelisah atau tidak tenang dan tidak ingin orang lain (tetangga/sahabat/istri atau ustadz kita) tahu, maka ini merupakan ciri dosa. Maka berhati-hatilah. Dan sebaiknya kita meninggalkan perkara yang menimbulkan ketidaktenangan tersebut.

👉 Namun ingat, kata para ulama, hadits (sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wasallam) ini berkaitan dengan orang yang hatinya masih sesuai dengan fitrah, bukan orang-orang yang melakukan kemaksiatan yang fitrahnya sudah rusak, yang membanggakan kemaksiatan-kemaksiatan yang mereka lakukan, tidak punya malu.

⇒ Tentu hadits ini tidak berlaku bagi mereka, seperti:
• Orang-orang yang memamerkan aurat mereka.
• Orang-orang yang minum khamar di hadapan banyak orang.
• Orang-orang yang bangga dengan kejahatan-kejahatan atau maksiat-maksiat yang mereka lakukan.
• Orang-orang yang terkadang men-shooting diri mereka tatkala mereka sedang bermaksiat, sedang berzina, lalu mereka sebarkan di dunia-dunia maya.

Ini semua tidak berlaku bagi mereka di sini, karena fitrah mereka telah rusak. Adapun hadits ini berlaku untuk orang yang masih punya rasa malu, yang fitrahnya masih baik.

👉 Maka, untuk mengenal dosa atau tidak, maka dia memiliki 2 ciri/indikator:
⑴ Hatinya tidak tenang
⑵ Dia tidak suka kalau ada orang yang melihatnya

👉 Oleh karenanya, ikhwan-akhawat sekalian yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla, sebagian ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwasanya dosa itu pasti mendatangkan kegelisahan. Sebagaimana penjelasan Ibnu Al-Qayyim rahimahullāhu Ta'āla:

◆ Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pasti dia gelisah, pasti dia tidak tenang. Sebagaimana kalau orang yang mengingat Allāh:

ِ ۗأَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
"Ketahuilah, dengan mengingat Allāh maka hati menjadi tenang. (QS. Ar-Ra'du: 28)

◆ Maka kebalikannya, kalau lupa dan maksiat kepada Allāh, maka pasti mendatangkan kegelisahan dan gundah gulana, hatinya tidak tenang dan tidak tentram sampai dia bertaubat kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla menjauhkan kita dari segala dosa. Dan semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang tawwābīn, yaitu jika kita berdosa, segera kita bertaubat kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Demikianlah.

وبالله التوفيق والهداية
.

Sampai bertemu pada halaqah berikutnya.

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
.

Dari Firanda,
Rekamannya di Mekkah.
______________________________

🌍 BimbinganIslam[dot]com
Senin, 13 Syawwal 1437 H / 18 Juli 2016 M
👤 Ustadz Firanda Andirja, M.A.
📗 Kitābul Jāmi' | Bulūghul Marām
🔊 Hadits ke-3 | Hakekat Kebaikan dan Dosa (Bagian 2)

〰〰〰〰〰〰〰〰〰

📦Donasi Operasional & Pengembangan Dakwah Group Bimbingan Islam
| Bank Mandiri Syariah
| Kode Bank 451
| No. Rek : 7103000507
| A.N : YPWA Bimbingan Islam
| Konfirmasi Transfer : +628-222-333-4004

📮Saran Dan Kritik
Untuk pengembangan dakwah group Bimbingan Islam silahkan dikirim melalui
SaranKritik@bimbinganislam[dot]com

Kitabul Jami (04): Hakikat Kebaikan dan Dosa (01)

Ahad pagi, 19 Syawwâl 1437 H
_

HADITS KE-3 (01):
HAKIKAT KEBAIKAN DAN DOSA (BAGIAN 1)

〰〰〰〰〰〰〰

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
.

Kita lanjutkan ke hadits berikutnya:

وَ عَنِ النَّوَّاسِ ابْنِ سَمْعَانَ رضي اللّه عنه قَالَ سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللّهِ صلّى اللّه عليه وسلّم عَنِ الْبِرِّ وَ اْلأِثْمِ فَقَالَ اَلْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَ اْلأِثْمُ مَا حَاكَ فِى صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاس
Dari Shahabat An-Nawwās bin Sam'ān radhiyallāhu ta'ālā 'anhu, beliau berkata:

Aku bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wasallam tentang makna al-birru (kebajikan) dan al-itsmu (dosa), maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wasallam berkata, "Al-birru (kebajikan) adalah akhlaq yang mulia, adapun al-itsmu (dosa) yaitu apa yang engkau gelisahkan di hatimu dan engkau tidak suka kalau ada orang yang mengetahuinya." (HR. Muslim no. 4632 [versi Syarh Shahih Muslim no. 2553])

Ikhwān [saudara-saudara –ed.] dan akhawāt [saudari-saudari –ed.] sekalian yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, Shahabat ini bertanya kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wasallam, tentunya agar dia bisa beramal.

👉 Dan demikianlah adab seorang yang hendak bertanya, maka dia niatkan tatkala dia belajar adalah untuk diamalkan.

👉 Dan yang ditanya oleh Shahabat ini adalah pertanyaan yang sangat indah, tentang, "Apa hakikat kebajikan?" Dan, "Apa hakikat daripada dosa?" Adapun jawaban Nabi shallallāhu 'alayhi wasallam berkaitan dengan hak kebajikan, kata Nabi shallallāhu 'alayhi wasallam :

حُسْنُ الْخُلُق
"Akhlaq yang mulia."

👉 Padahal kita tahu bahwasanya kebajikan itu mencakup banyak sekali perkara; semua kebaikan adalah kebajikan. Tetapi, kenapa Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wasallam mengkhususkan penyebutan husnul khuluq (akhlaq yang mulia)?

⇒Ini menunjukkan akan keutamaan dan keistimewaan akhlaq yang mulia.

👉 Karenanya, sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wasallam ini mirip seperti sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wasallam :

الْحَجُّ عَرَفَة
"Haji adalah 'Arafah."

(HR. Ahmad no. 18023, Abū Dāwud no. 1664 [versi Baitul Afkar Ad-Dauliyah no. 1949], At-Tirmidzi no. 814 [versi Maktabah Al-Ma'arif Riyadh no. 889, 890], An-Nasāi no. 2994 [versi Maktabah Al-Ma'arif Riyadh no. 3044], dan Ibnu Mājah no. 3006 [versi Maktabah Al-Ma'arif Riyadh no. 3015])

👉 Artinya apa? Inti daripada ibadah haji adalah wukuf di padang 'Arafah.

⇒Bukan berarti haji cuma wukuf di padang 'Arafah saja, tidak. Ada namanya thawaf, sa'i, ihram, lempar jamarat, mabit di Mina, mabit di Muzdalifah, dan ibadah-ibadah yang lainnya. Ini semua merupakan rangkaian ibadah haji.

👉 Tetapi Nabi shallallāhu 'alayhi wasallam mengkhususkan penyebutan wukuf di padang 'Arafah karena dia adalah inti daripada ibadah haji. Sama seperti, "Kebajikan adalah akhlaq yang mulia." ⇒Artinya apa? Akhlaq mulia memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam.

Oleh karenanya, kalau kita ingin melihat dalil-dalil tentang akhlaq yang mulia, sangat banyak:

● Dalil ⑴
Sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wasallam :

لَيْسَ شَيْءٌ أَثْقَالُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ
"Tidak ada suatu yang lebih berat daripada akhlaq yang mulia dalam timbangan pada hari Kiamat." (HR. Ahmad dari Shahabat Abū Ad-Dardā`, di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albāni dalam Shahīh Al-Jāmi')

👉 Ini menunjukkan, kalau seseorang memiliki akhlaq yag mulia, maka akan sangat memperberat timbangan kebajikannya di hari yang sangat dia butuhkan kebaikan, yaitu tatkala hari Kiamat kelak.

● Dalil ⑵
Nabi shallallāhu 'alayhi wasallam mengatakan dalam haditsnya:

إنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
"Sesungguhnya seorang dengan akhlaqnya yang mulia bisa meraih derajat orang yang senantiasa berpuasa sunnah dan senantiasa shalat malam." (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 24073)

👉 Orang ini, mungkin, dia jarang shalat malam, mungkin dia jarang puasa sunnah, tetapi dia akhlaqnya mulia: orang senang dekat sama dia, orang bahagia duduk sama dia, orang senang mendengar wejangan-wejangannya, orang senang mendapatkan bantuannya. Maka, meskipun dia jarang shalat malam, meskipun dia jarang berpuasa sunnah, namun dia mendapat pahala orang-orang seperti itu. Kenapa? Dengan akhlaqnya yang mulia.

● Dalil ⑶
Sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wasallam:

أَقْربكمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحاسنكمْ أَخْلَاقًا
"Orang yang paling dekat kedudukannya denganku pada hari kiamat adalah yang paling baik akhlaqnya." (HR. At-Tirmidzi no. 2018 dari Shahabat Jābir)

👉 Jika Anda ingin dekat dengan Nabi shallallāhu 'alayhi wasallam pada hari Kiamat, perbaiki akhlaq Anda, karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wasallam mengatakan, "Yang paling dekat dengan aku adalah yang paling baik akhlaqnya." 

⇒ Ini menunjukkan keutamaan dan keistimewaan akhlak yang mulia: dia adalah amalan yang spesial.

👉 Jangan kita sangka amalan itu hanyalah shalat, puasa, zakat! Akhlaq yang mulia adalah amalan yang sangat spesial yang sangat mulia di sisi Nabi shallallāhu 'alayhi wasallam.

Oleh karenanya, [hendaklah] seseorang berusaha menghiasi dirinya dengan akhlaq yang mulia. Jangan seorang mengatakan:
"Saya tidak bisa mengubah akhlaq saya."
"Saya memang begini modelnya."
"Saya diciptakan begini modelnya, tabiat saya memang seperti ini."

👉 Kalau akhlaq tidak bisa diubah, lalu buat apa hadits-hadits yang begitu banyak tentang akhlaq yang mulia? Buat apa ayat-ayat Allah turunkan tentang memotivasi orang-orang berakhlaq mulia?

👉 Ini menunjukkan akhlaq bisa diubah;
✓Seorang yang pelit bisa jadi orang dermawan.
✓Seorang yang pemarah bisa jadi seorang yang penyabar.

Jangan sampai seorang mengatakan:
"Saya memang suka marah."
"Saya memang temperamental."
"Saya begini tipenya."

Jangan seperti itu! Seperti itu orang bisa mengubah akhlaqnya.

● Dalil ⑷
Dalam hadits, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wasallam mengatakan:

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
"Aku menjamin istana di bagian atas surga bagi orang yang memperindah akhlaqnya." (HR. Abu Dawud)

Dalam riwayat lain:

لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ
"Bagi orang yang memperindah akhlaqnya."

Berarti, akhlaq itu bisa diperoleh/diraih.

● Dalil ⑸
Dalam hadits, kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wasallam :

مَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ الله
"Barangsiapa yang berusaha bersabar, maka Allah akan jadikan dia penyabar." (HR. Al-Bukhāri dan Muslim dari Shahbat Abū Sa'īd Al-Khudri)

⇒ Orang yang pemarah bisa jadi penyabar.

Karenanya, para hadirin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, inilah keutamaan [serta] keistimewaan akhlaq mulia.

👉 Para ulama menyebutkan, di antara akhlaq mulia, sebagaimana perkataan Ibnu Al-Mubārak:

◆ Akhlaq mulia terkumpul pada 3 perkara

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ الضَّبِّيُّ حَدَّثَنَا أَبُو وَهْبٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُ وَصَفَ حُسْنَ الْخُلُقِ فَقَالَ هُوَ بَسْطُ الْوَجْهِ وَبَذْلُ الْمَعْرُوفِ وَكَفُّ الْأَذَى
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdah Adh-Dhabbi: Telah menceritakan kepada kami Abu Wahb dari Abdullah bin Al-Mubarak bahwasanya ia menjelaskan tentang husnul khuluq (akhlak yang baik) seraya berkata,

"Berwajah ceria, menebarkan kebaikan, dan mencegah keburukan." (HR. At-Tirmidzi no. 1928 [versi Maktabah Al-Ma'arif Riyadh no. 2005])

Yaitu:
⑴ Wajah yang sering berseri-seri (senyum).
⑵ Mudah untuk berbuat baik kepada orang lain.
⑶ Tidak mengganggu orang lain.
⇒ Ini 3 rukun akhlaq.

Insyā Allāh, kita akan lanjutkan lagi pada halaqah [pertemuan –ed.] berikutnya.

وبالله التوفيق
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
.
______________________________

🌍 BimbinganIslam[dot]com
Selasa, 10 Sya'ban 1437 H / 17 Mei 2016 M
👤 Ustadz Firanda Andirja, M.A. (Pengajar resmi di Masjid Nabawi, Madinah)
📗 Kitābul Jāmi' | Bāb Al-Adab
🔊 Hadits ke-3 | Hakekat Kebaikan dan Dosa (bagian 1)