Malam Sabtu, 21 Rabi'ul Awwal 1437 H
_
SYARAH BULUGH AL-MARAM, HADITS KE-1
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في البَحْرِ : هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُه
أَخْرَجَهُ الأَرْبَعَةُ وَابْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِيْذِيُّ وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ
Dari Abu Hurairah radhiyallâhu 'anhu, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam tentang (hukum) air laut:
“Air laut itu suci, (dan) halal bangkainya.”
Diriwayatkan oleh: Abu Dâwud, At-Tirmidzi, An-Nasâi, Ibnu Mâjah, dan Ibnu Abi Syaibah –ini merupakan lafazhnya–, dan telah di-shahih-kan oleh Ibnu Khuzaimah dan At-Tirmidzi. Dan telah diriwayatkan pula oleh: Mâlik, Asy-Syâfi’i, dan Ahmad.
PENJELASAN HADITS
Hadits ini akan dijelaskan dalam beberapa sub bahasan:
1. Biografi Perawi Hadits
2. Takhrij Hadits
3. Definisi dan Kriteria Hadits Shahih
4. Penjelasan Kosakata Hadits
5. Pengertian Umum Hadits
6. Faedah Hadits
7. Masalah-Masalah Fiqih
〰〰〰〰〰
⬇️ 1. BIOGRAFI PERAWI HADITS ⬇️
➖ Perawi hadits ini adalah sahabat Nabi yang mulia, Abu Hurairah 'Abdurrahmân bin Shakhar Ad-Dausi yang terkenal dengan kunyah beliau, Abu Hurairah.
➖ Beliau masuk Islam pada tahun terjadinya peristiwa perang Khaibar, dan mulazamah (belajar) kepada Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, sehingga menjadi shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam.
➖ Beliau menjadi salah satu ulama besar dan ahli fatwa di kalangan shahabat, dan terkenal dengan kewibawaan, ibadah, dan sifat rendah hatinya.
➖ Imam Al-Bukhâri menyatakan, beliau memiliki delapan ratus murid atau lebih.
➖ Beliau meninggal dunia di kota Madinah pada tahun 57 H, dan dimakamkan di pekuburan Baqi'.
〰〰〰〰〰
⬇️ 2. TAKHRIJ HADITS ⬇️
Sebelum memulai dengan penjelasan takhrij hadits ini, perlu kiranya disampaikan sedikit tentang pengertian "takhrij" dan pembagian hadits menurut kriteria diterima atau tidaknya.
✏️ Pengertian Takhrij
〰 "Takhrij" menurut bahasa mempunyai beberapa makna:
• Yang paling mendekati adalah berasal dari kata "kharaja ( خَرَجَ )" yang artinya; nampak dari tempatnya atau keadaannya, serta terpisah dan kelihatan.
• Demikian juga kata "al-ikhraj ( اْلِإخْرَج )" yang artinya; menampakkan dan memperlihatkannya.
• Dan "al-makhraj ( المَخْرَج )" artinya; tempat keluar.
• Dan "akhrajal-hadîts wa kharrajahu" artinya; menampakkan dan memperlihatkan hadits kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.
〰 "Takhrij" menurut istilah adalah menunjukkan tempat hadits pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadits tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.
Hadits yang sedang kita bahas ini dikeluarkan oleh:
• Mâlik dalam Al-Muwaththa' (I/45 – Tanwîr Al-Hawalik Syarh Al-Muwaththa' oleh As-Suyuthi),
• Asy-Syâfi'i dalam Al-Umm (I/16),
• Ahmad dalam Musnad-nya (2/232,361),
• Abu Dâwud dalam Sunan-nya (no. 83),
• At-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 69),
• An-Nasâi dalam Sunan-nya (1/50,176),
• Ibnu Mâjah dalam Sunan-nya (no. 43),
• Ad-Darimi dalam Sunan-nya (1/186),
• Ibnu Al-Jârud dalam Al-Muntaqâ (no. 43),
• Ibnu Khuzaimah dalam Shahîh-nya (no. 777),
• Ibnu Hibbân dalam Shahîh-nya (no. 119 – Mawarid),
• Al-Hâkim dalam Al-Mustadrak (1/140-141),
• Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (1/131),
• dan lain-lain.
Semuanya dari jalan Imam Mâlik, dari Shafwan bin Sulaim, dari Sa'id bin Salamah (ia berkata): Sesungguhnya Al-Mughirah bin Abi Burdah telah mengabarkan kepadanya, bahwasanya ia pernah mendengar Abu Hurairah berkata:
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيْلُ مِنَ الْمَاءِ إِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَـتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : هُوَ الطُّهُوْرُ مَاؤُهُ الحِلُّ مَيْتَتُهُ.
Telah bertanya seorang laki-laki kepada Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, "Yâ Rasulullah, kami akan berlayar di lautan dan kami hanya membawa sedikit air, maka kalau kami berwudhu dengan mempergunakan air tersebut, pasti kami akan kehausan. Oleh karena itu, bolehkah kami berwudhu dengan air laut?" Jawab Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam, “Laut itu suci airnya, (dan) halal bangkainya.”
Hadits ini shahîh, dan semua perawinya tsiqah (kredibel) dan termasuk para perawi Shahîh Al-Bukhâriy dan Shahîh Muslim (Ash-Shahîhain), kecuali Al-Mughirah bin Abi Burdah; beliau ini dihukumi tsiqah oleh Imam An-Nasâi dan dimasukkan oleh Ibnu Hibbân dalam kitab Ats-Tsiqât.
Hadits ini telah di-shahîh-kan oleh jama’ah ahli hadits, di antaranya:
1. Al-Bukhâri
2. At-Tirmidzi
3. Ibnu Khuzaimah
4. Ibnu Hibbân
5. Al-Hâkim
6. Ath-Thahâwi
7. Al-Baihaqi
8. Ad-Dâraquthni
9. Ibnu 'Abdilbarr
10. Ibnu Al-Mundzir
11. Ibnu Hazm
12. Ibnu Mandah
13. Al-Baghawi
14. Al-Khathabi
15. Abdulhaq Al-Isybili
16. An-Nawawi
17. Ibnu Daqîq Al-Ied
18. Ibnu Taimiyah
19. Ibnu Katsîr
20. Ibnu Al-Qayyim
21. Adz-Dzahabi
22. Ibnu Al-Atsir
23. Ibnu Hajar
24. Ibnu Al-Mulaqqin
25. Badruddin Al-'Aini
26. Az-Zaila'i
27. Ash-Shan'âni
28. Asy-Syaukâni
29. Al-Albâni
📌 Kesimpulannya: Hadits ini shahîh.
Syaikh 'Abdullâh bin 'Abdurrahmân âlu Basâm berkata, "Hadits ini di-shahih-kan oleh para ulama, di antaranya; Al-Bukhâri, Al-Hâkim, Ibnu Hibbân, Ibnu Al-Mundzir, Ath-Thahâwi, Al-Baghawi, Al-Khathabi, Ibnu Khuzaimah, Ad-Dâraquthni, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Ibnu Daqîq Al-Ied, Ibnu Katsîr, Ibnu Hajar, dan selainnya sampai lebih dari 36 imâm." (Taudhih Al-Ahkâm 1/115)
〰〰〰〰〰
⬇️ 3. DEFINISI DAN KRITERIA HADITS SHAHIH ⬇️
Hadits shahîh adalah hadits yang bersambung sanad-nya dari awal hingga akhir, baik itu hingga Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, shahabat, atau yang di bawahnya, dengan syarat; para perawinya adil dan memiliki kesempurnaan dhabth, serta tidak adanya syadz dan illat yang merusaknya.
✏️ Syarat Hadits Shahih
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hadits yang shahîh memiliki 5 syarat:
1). Sanadnya bersambung.
▫️ Maksudnya, setiap perawi mendengar langsung dari gurunya, gurunya mendengar langsung dari gurunya, begitu seterusnya sampai kepada Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam atau kepada shahabat.
▫️ Bila sampai kepada Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, dinamakan "hadîts shahîh marfû".
▫️ Bila sampai kepada shahabat, dinamakan "hadîts shahîh mauquf".
2). Al-'Adalah (Adil)
▫️ Maksudnya, para perawi memiliki kemampuan yang membuatnya dapat konsisten dalam ketakwaan, serta menjauhi kefasikan dan perusak muru'ah (harga diri dan kehormatannya).
▫️ Hal ini dapat dijabarkan dengan; muslim, baligh, berakal yang tidak melakukan perbuatan dosa besar dan tidak terus menerus berbuat dosa kecil, serta tidak berbuat perbuatan yang merusak muru'ah-nya.
3). Kesempurnaan adh-Dhabth.
▫️ Pengertiannya adalah kekuatan hafalan dan penjagaannya.
▫️ Para ulama membagi sifat adh-Dhabth menjadi dua:
➖ Adh-Dhabt ash-Shadr, yaitu kemampuan untuk menyampaikan hafalannya kapan saja dan di mana saja.
➖ Adh-Dhabt al-Kitâbah, yaitu kemampuan untuk menjaga kitab dan tulisannya sejak mendengarnya hingga menyampaikannya.
▪️ Perawi yang adil dan dhabt-nya sempurna dinamakan dengan istilah "tsiqah".
4). Tidak syadz.
▫️ Tidak menyelisihi hadits yang lebih shahîh atau lebih kuat (derajatnya).
5). Tidak ada illat yang merusaknya.
▫️ Illat adalah sesuatu yang tersembunyi, yang tampaknya hadits itu adalah hadits yang shahîh, namun setelah diteliti ternyata ada kesalahan-kesalahan yang menunjukkan bahwa haditsnya adalah hadits yang lemah, bukan hadits yang shahîh.
_
👇 Contoh hadits shahih:
قَالَ الْبُخَارِيُّ : حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ الأَنْصَارِيْ قَالَ أَخْبَرَنِيْ مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ التَّيْمِيْ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيْ يَقُوْلُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ :
( إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ )
.
✏️ Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mengetahui hadîts shahîh, setelah mendapatkan sanad dan matannya, adalah sebagai berikut:
a). Mengenal kedudukan dan pendapat para ulama tentang perawi yang ada dalam sanad satu persatu.
Dalam hadits ini, terdapat nama-nama perawi sebagai berikut:
1. Abu Bakar 'Abdullâh bin Az-Zubair bin 'Isâ Al-Humaidi.
➖ Nasab beliau bertemu dengan Khadijah Ummul Mu'minîn pada Asad dan dengan Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam pada Qushay.
➖ Seorang imam besar yang menemani Asy-Syâfi'i dalam mencari ilmu dari Ibnu 'Uyainah, dan mengambil fiqih dari beliau.
➖ Beliau seorang tsiqah, hâfizh, dan faqih, serta termasuk murid besar Ibnu 'Uyainah.
➖ Beliau menemani Imam Asy-Syâfi’i hingga ke Mesir dan baru pulang ke Makkah –setelah Asy-Syâfi’i wafat– hingga meninggal tahun 219 H.
2. Abu Muhammad Sufyân bin 'Uyainah bin Abî 'Imrân Al-Hilali Al-Kufi Al-Makki.
➖ Beliau kelahiran Kufah dan menetap di Makkah.
➖ Beliau mendengar lebih dari 70 tabi’in.
➖ Ibnu Hajar menyatakan, beliau seorang tsiqah, hâfizh, faqih, imâm, hujjah, namun berubah hafalannya di akhir hayatnya dan melakukan tadlis, namun hanya dari para perawi yang tsiqah.
➖ Beliau adalah orang yang paling bagus hafalannya dalam hadits 'Amru bin Dinâr.
➖ Beliau termasuk murid dari Yahyâ bin Sa'id Al-Anshari.
➖ Meninggal pada bulan Rajab tahun 178 H dalam usia 71 tahun.
3. Abu Sa'id Yahyâ bin Sa'id bin Qais bin 'Amru Al-Anshari Al-Madani Al-Qâdhi.
➖ Seorang tsiqah tsabat
➖ dan meninggal tahun 144 H.
4. Abu 'Abdillâh Muhammad bin Ibrâhîm bin Al-Hârits bin Khalid At-Taimi Al-Madani.
➖ Seorang tsiqah
➖ Meninggal tahun 120 H.
5. 'Alqamah bin Waqqâsh Al-Laitsi Al-Madani
➖ Seorang tsiqah tsabat
➖ dan meninggal pada masa kekhilafahan 'Abdulmalik bin Marwan.
6. 'Umar bin Al-Khaththâb Al-'Adawi
➖ Sahabat Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam dan khalifah rasyid yang kedua.
b). Mengenal bersambung atau tidaknya sanad hadits yang sedang dicari hukumnya, dengan cara melihat kepada lafazh simâ'-nya.
➖ Didapatkan semua perawi menyampaikan dengan lafazh yang jelas dan gamblang; mendengar dari perawi di atasnya, sehingga dapat dipastikan mereka mendengar langsung dari perawi di atasnya.
c). Mengumpulkan jalan periwayatan hadits yang ada, baik dalam riwayat lainnya atau hadits dari shahabat lainnya, untuk diketahui apakah ada yang menyelisihinya atau ada illah (penyakit) yang merusak kebasahan hadits tersebut.
d). Kemudian, baru dapat menghukumi hadits tersebut; shahîh atau tidak.
📌 Ternyata, bila kita terapkan syarat-syarat hadits shahih, didapatkan semuanya ada pada hadits ini, sehingga dihukumi sebagai "hadîts shahîh".
〰〰〰〰〰
⬇️ 4. PENJELASAN KOSAKATA HADITS ⬇️
(( هو الطَّهور ماؤه ))
📎 Kata (( الطَّهور )) dalam bahasa Arab merupakan Shighah Mubalaghah, yang bermakna "suci dan mensucikan". Dibaca dengan di-fathah-kan huruf Tha’-nya, bermakna "sesuatu yang dipakai untuk bersuci".
📎 Kata ganti (( هو )) kembali kepada laut, sehingga kata (( هو )) –dalam bahasa Arab– kedudukannya adalah Mubtada’, dan (( الطهور )) adalah Mubtada’ kedua. Sedangkan, kata (( ماؤه )) adalah Khabar atau Fâ'il untuk kata (( الطهور )), karena dia merupakan Shighah Mubalaghah.
📎 Jumlah susunan Mubtada’ kedua dan Khabar-nya menjadi Khabar bagi Mubtada' pertama. Susunan ini dalam bahasa Arab berisi pembatasan sifat kepada Maushuf (yang disifati). Berarti maknanya; membatasi kesucian hanya pada air laut. Pembatasan ini tidak hakiki, karena kesucian ada pada selain air laut juga. Maka, ia sebenarnya adalah pembatasan tertentu (Qashru Ta'yîn), karena penanya bimbang antara kebolehan berwudhu dan tidak, sehingga Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam menentukan kebolehannya.
_
(( الحِلُّ ميتته ))
📎 Demikian tanpa adanya huruf sambung Wawu.
📎 Kata (( الحل )) dengan di-kasrah-kan huruf ha’-nya, dalam bahasa Arab adalah Mashdar dari « حلَّ يَحِلُّ » yang menjadi anonim kata « haram ».
📎 Sedangkan kata (( ميتته )) dengan di-fathah-kan huruf Mim-nya adalah; semua hewan laut yang mati tanpa sembelihan syar’i, seperti ikan.
• Penanya yang ada dalam hadits ini dijelaskan dalam beberapa riwayat, seperti riwayat Imam Ad-Dâruquthni sesuai dengan penjelasan Al-Hâfizh Ibnu Hajar dalam Talkhish Al-Habir (1/12), bernama 'Abdullâh Al-Mudliji, dan disampaikan Ath-Thabrâni pada bagian orang-orang yang namanya 'Abdu.
• Sedangkan Ibnu Basykuwâl, dalam kitab Al-Ghawâmidh (2/564) dengan sanadnya, menamakannya 'Abdah Al-'Araki.
• Ada yang memberi nama 'Ubaid.
• Sebenarnya, namanya adalah 'Abdullâh, 'Abdu, atau 'Abdah, dan kunyah-nya adalah Abu Zam'ah Al-Balawi, seperti dijelaskan Abu Musa Al-Madini dalam kitab Ma'rifah Ash-Shahabah. (Lihat At-Talkhish 1/12 dan Al-Ishâbah fî Tamyiz Ash-Shahâbah 2/433 karya Ibnu Hajar).
• Beliau adalah seorang nelayan, sehingga dijuluki Al-'Araki.
〰〰〰〰〰
⬇️ 5. PENGERTIAN UMUM HADITS ⬇️
Hadits yang mulia ini merupakan jawaban atas sebuah pertanyaan, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Imam Mâlik bahwa Abu Hurairah berkata:
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shalallâhu ‘alaihi wasallam (dengan pertanyaan) :
"Wahai Rasulullah, kami akan berlayar di lautan dan kami hanya membawa sedikit air, maka kalau kami berwudhu dengan mempergunakan air tersebut, pasti kami akan kehausan. Oleh karena itu, bolehkah kami berwudhu dengan air laut?" Maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam menjawab, “Laut itu suci airnya, (dan) halal bangkainya.”
📌 Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa air laut suci mensucikan dan bangkainya halal, sehingga tidak butuh menyembelih hewan-hewan laut atau air.
〰〰〰〰〰
⬇️ 6. FAIDAH HADITS ⬇️
Pelajaran yang dapat diambil dari hadits ini antara lain:
1). Kedudukan hadits ini disampaikan oleh Imam Asy-Syâfi’i dengan ungkapan, "Hadits ini adalah separuh ilmu thahârah." (Dinukil oleh Al-Hâfizh dalam Talkhish Al-Habir 1/24)
➖ Hal ini –wallâhu a’lam– karena thaharah (bersuci) ada dua jenis; dengan air dan dengan debu. Dan hadits ini menjelaskan bersuci dengan air.
➖ Atau juga karena bersuci kadang di daratan dan kadang di lautan. Dan hadits ini menjelaskan bersuci di lautan.
➖ Tidak diragukan lagi, hadits ini adalah hadits yang agung yang berisi kaidah dalam bersuci.
➖ Ibnu Al-Mulaqqin menyatakan, "Hadits ini adalah hadits yang agung dan salah satu pokok thaharah; berisi banyak sekali hukum dan kaidah penting."
2). Bertanya kepada ahli ilmu jika tidak mengetahui sesuatu masalah agama, sebagai bentuk mengamalkan perintah Allâh di dalam Al-Qurân:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak tahu." (QS. An-Nahl: 43)
Syaikh Prof. Dr. Shâlih bin 'Abdullâh Al-Fauzân berkata, "Hadits ini berisi kewajiban merujuk kepada ulama ketika ada masalah. Karena, shahabat tersebut, ketika ada masalah pada bewudhu dengan air laut, bertanya kepada Nabi shalallâhu 'alaihi wasallam."
3). Semangat shahabat dalam mencari dan menerima ilmu dari Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam.
➖ Hal ini nampak dari sebab adanya hadits ini berupa pertanyaan mereka kepada Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam.
4). Bertanya merupakan satu cara mendapatkan ilmu yang sangat penting.
5). Diambil dari hadits ini, suatu cara bertanya yang menunjukkan kepandaian dan kecerdasan penanya, sehingga menghasilkan faedah penting yang digunakan manusia hingga akhir zaman nanti.
➖ Cara tersebut adalah; memulai pertanyaan dengan menyampaikan penjelasan keadaan, yaitu mengarungi lautan dengan perahu dan hanya membawa air yang sedikit, sehingga apabila digunakan untuk wudhu, maka akan menimbulkan kehausan.
➖ Pertanyaan ini adalah pertanyaan kasus nyata yang real dialami.
➖ Kemudian, menjelaskan semua yang berhubungan langsung dengan pertanyaan yang dikhawatirkan mempengaruhi hukum dengan menyatakan, "..Apakah boleh berwudhu dengan air laut?"
6). Bolehnya seseorang menjawab pertanyaan melebihi dari yang ditanyakan apabila penanya membutuhkannya. Sebab dalam hadits ini, orang yang naik perahu butuh mengenal hukum bangkai hewan laut.
➖ Di sini, Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam memberikan fatwa ini karena mereka membutuhkan dan -mungkin- selain mereka juga membutuhkannya.
➖ Oleh karena itu, seorang mufti bila melihat kebutuhan penanya tentang sesuatu yang belum ditanyakan, maka disyariatkan untuk menambah jawaban melebihi pertanyaan. Apabila tidak, maka jawaban hendaknya sesuai dengan pertanyaan saja.
➖ Oleh karena itu, Imam Al-Bukhâri menulis dalam Shahîh-nya, "Bab: Man Ajâba As-Sâila Bi-aktsara min Mâ Sa-alahu (Bab: Bolehnya Menjawab Pertanyaan Penanya Lebih Banyak dari yang Ditanyakan). (Shahîh Al-Bukhâriy 1/42)
➖ Imam Ibnu Al-Qayyim dalam I'lâm Al-Muwaqqi'în (4/156-159) menyatakan, "Diperbolehkan bagi mufti (orang yang berfatwa) untuk menjawab pertanyaan penanya melebihi dari pertanyaannya, dan ini termasuk kesempurnaan nasihat, ilmu, dan bimbingannya. Siapa yang mencelanya, maka itu karena dangkalnya ilmu, sempitnya dada, dan lemahnya sifat nasihat."
➖ Syaikh Al-Basâm menyatakan, "Pentingnya menambah keterangan dalam fatwa atas satu pertanyaan. Hal itu apabila mufti menganggap bahwa penanya tidak mengerti hukum tersebut atau ia tertimpa masalah tersebut, sebagaimana dalam bangkai hewan laut pada orang yang menyeberangi lautan. Ibnu Al-Arabi menyatakan, 'Itu termasuk nilai-nilai positif fatwa dengan menjawab melebihi pertanyaan untuk menyempurnakan faedahnya dan menyampaikan ilmu yang tidak ditanyakan. Ini akan sangat penting apabila nampak kebutuhan terhadap hukum tersebut.'." (Taudhih Al-Ahkâm 1/117)
➖ Para ulama memberikan penjelasan mengapa Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam menambah jawaban melebihi yang ditanya, karena beberapa faedah, di antaranya:
a. Kebutuhan orang tersebut kepada bangkai hewan laut, karena dia berlayar di lautan, sehingga kadang butuh untuk makan hewan laut, seperti ikan. Padahal, umumnya hewan laut bila dibawa ke perahu, maka akan mati menjadi bangkai.
b. Diperkirakan dengan hipotesa kuat bahwa penanya tidak tahu hukum bangkai hewan laut. Kalau tidak tahu hukum kesucian air laut, maka lebih-lebih lagi hukum bangkai hewannya. Ditambah lagi kaidah yang sudah diketahui semua orang bahwa pada asalnya bangkai itu haram dimakan.
7). Jawaban, “...Suci airnya,” termasuk jawâmi’ al-kalim, sebab sangat mungkin Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam menjawab dengan, “Ya..,” saja. Namun, beliau tidak menjawab dengan ringkas, karena beberapa sebab:
a ➖ Agar tidak terpahami bahwa kebolehan berwudhu dengan air laut hanya dalam keadaan darurat saja, seperti keadaan yang diceritakan penanya.
b ➖ Agar tidak terpahami bolehnya berwudhu dengan air laut saja tetapi tidak boleh digunakan selainnya.
c ➖ Untuk menjelaskan hukum dengan sebab hukumnya, yaitu kesucian air laut. Dengan demikian, jelaslah bahwa semua air yang suci dan mensucikan (thahûr) boleh digunakan untuk bersuci.
8). Adanya kaidah: "Ilmu terlebih dahulu sebelum beramal."
9). Hadits ini menunjukkan kedermawanan Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam dalam ilmu, sebagaimana beliau dermawan dalam harta, kedudukan, dan jiwanya.
10). Bolehnya berlayar mengarungi lautan untuk berdagang atau tujuan mubah lainnya, meskipun bukan untuk berjihad.
11). Bolehnya membawa bekal ketika safar. Hal ini menyalahi perbuatan kaum Shufi yang melarang membawa bekal ketika safar.
12). Kewajiban memelihara dan menjaga diri dari kebinasaan, seperti kelaparan dan kehausan.
13). Adanya kaidah ushul: “Menolak kerusakan didahulukan dari mengambil manfaat.”
14). Syariat Islam itu sangat mudah bagi mereka yang paham dan ikhlas.
15). Seseorang tidak dibebani kecuali sesuai kemampuannya.
16). Syariat Islam selalu memberikan jalan keluar bagi segala kesulitan.
17). Air laut itu suci dan mensucikan. Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-'Utsaimîn menyatakan, "Air laut itu suci lagi mensucikan seluruhnya, tanpa pengecualian." (Fat-hul Jalal wal Ikram 1/60)
18). Bangkai hewan atau binatang laut itu halal dimakan, mencakup semua hewan yang hidup di air dan bukan hewan darat yang mati di air.
19). Bangkai binatang laut itu halal dan suci, sebab dalam kaidah dikatakan: "Semua yang halal itu suci, dan tidak semua yang suci itu halal. Setiap najis itu haram, dan tidak semua yang haram itu najis." (Fat-hul Jalal wal Ikram 1/60)
20). Bolehnya berwudhu dengan air yang telah bercampur dengan sesuatu hingga berubah rasa, bau, atau warnanya selama tidak kemasukan najis, dan selama penamaannya tetap air, bukan yang telah berubah menjadi air teh, air kopi, dan lain-lain.
21). Islam mengatur hidup dan kehidupan manusia, dunia mereka dan akhirat mereka.
22). Air laut itu suci dan mensucikan, serta tidak keluar dari hukum ini sama sekali. Oleh karenanya, diperbolehkan bersuci dengan air laut dari hadats kecil atau besar, dan bersuci dari najis.
23). Penjelasan hukum bangkai hewan laut yang tidak hidup kecuali di air.
24). Pengertian hadits ini menunjukkan pengharaman bangkai hewan darat.
25). Kewajiban merujuk kepada ulama ketika ada masalah, karena shahabat ini merujuk kepada Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam ketika mendapatkan masalah dalam bersuci dengan air laut.
26). Para shahabat tidak bersuci dengan air laut karena asin, bergaram, dan baunya amis. Air yang demikian tidak diminum. Sehingga, para shahabat menganggap bahwa yang tidak diminum, maka tidak bisa digunakan untuk bersuci. Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam tidak menjawab hanya dengan kata, “Ya..,” ketika mereka bertanya, “Apakah kami boleh berwudhu dengannya?” agar kebolehan berwudhu dengannya itu terpahami: 'tidak terikat dengan keadaan darurat semata, bahkan untuk semua keadaan', dan juga agar tidak dipahami kebolehan tersebut hanya untuk berwudhu semata, namun boleh untuk menghilangkan hadats besar dan mensucikan najis.
〰〰〰〰〰
⬇️ 7. MASALAH-MASALAH FIQIH ⬇️
✏️ Air Laut itu Suci dan Mensucikan
Terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama seputar hukum air laut –dalam penggunaan air laut untuk berwudhu– dalam dua pendapat:
Pendapat pertama: Air laut itu suci dan mensucikan, serta boleh digunakan dalam bersuci, baik mendapati air yang lain atau tidak mendapati.
➖ Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari para shahabat, tabi'in, dan yang setelah mereka.
➖ Inilah pendapat Abu Bakar, Ibnu Abbas, dan Umar. Diriwayatkan juga dari Uqbah bin 'Amir dan 'Abdullâh bin 'Amru.
➖ Inipun pendapat Atha`, Ibnu Sirin, Al-Hasan, Ikrimah, Thawus, Ibrahim An-Nakhâi, Sufyân Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Ahlu Syam-Madinah-Kufah, Abu 'Ubaid, dan Ishâq. (Lihat Mushannaf Ibnu Abî Syaibah 1/130, Sunan Ad-Dâraquthniy 1/35-36, dan Al-Ausath karya Ibnu Al-Mundzir 1/247)
➖ Ini adalah pendapat al-madzâhib al-arba’ah (madzhab fiqih yang empat). (Lihat: Bada’i` Ash-Shanâi` 1/15, Ahkâm Al-Qurân karya Ibnu Al-Arabi 1/43, Al-Majmû’'1/136, dan Al-Mughni 1/22-23)
➖ Dan juga pendapat Ibnu Hazm. (Lihat Al-Muhalla 1/210)
Di antara argumentasi pendapat ini adalah:
1. Hadits Abu Hurairah ini.
2. Firman Allâh Ta'âlâ:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدُُ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَايُرِيدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Syaikh Prof. Dr. Shâlih bin 'Abdullâh Al-Fauzân berkata, "Hadits ini berisi kewajiban merujuk kepada ulama ketika ada masalah. Karena, shahabat tersebut, ketika ada masalah pada bewudhu dengan air laut, bertanya kepada Nabi shalallâhu 'alaihi wasallam."
3). Semangat shahabat dalam mencari dan menerima ilmu dari Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam.
➖ Hal ini nampak dari sebab adanya hadits ini berupa pertanyaan mereka kepada Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam.
4). Bertanya merupakan satu cara mendapatkan ilmu yang sangat penting.
5). Diambil dari hadits ini, suatu cara bertanya yang menunjukkan kepandaian dan kecerdasan penanya, sehingga menghasilkan faedah penting yang digunakan manusia hingga akhir zaman nanti.
➖ Cara tersebut adalah; memulai pertanyaan dengan menyampaikan penjelasan keadaan, yaitu mengarungi lautan dengan perahu dan hanya membawa air yang sedikit, sehingga apabila digunakan untuk wudhu, maka akan menimbulkan kehausan.
➖ Pertanyaan ini adalah pertanyaan kasus nyata yang real dialami.
➖ Kemudian, menjelaskan semua yang berhubungan langsung dengan pertanyaan yang dikhawatirkan mempengaruhi hukum dengan menyatakan, "..Apakah boleh berwudhu dengan air laut?"
6). Bolehnya seseorang menjawab pertanyaan melebihi dari yang ditanyakan apabila penanya membutuhkannya. Sebab dalam hadits ini, orang yang naik perahu butuh mengenal hukum bangkai hewan laut.
➖ Di sini, Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam memberikan fatwa ini karena mereka membutuhkan dan -mungkin- selain mereka juga membutuhkannya.
➖ Oleh karena itu, seorang mufti bila melihat kebutuhan penanya tentang sesuatu yang belum ditanyakan, maka disyariatkan untuk menambah jawaban melebihi pertanyaan. Apabila tidak, maka jawaban hendaknya sesuai dengan pertanyaan saja.
➖ Oleh karena itu, Imam Al-Bukhâri menulis dalam Shahîh-nya, "Bab: Man Ajâba As-Sâila Bi-aktsara min Mâ Sa-alahu (Bab: Bolehnya Menjawab Pertanyaan Penanya Lebih Banyak dari yang Ditanyakan). (Shahîh Al-Bukhâriy 1/42)
➖ Imam Ibnu Al-Qayyim dalam I'lâm Al-Muwaqqi'în (4/156-159) menyatakan, "Diperbolehkan bagi mufti (orang yang berfatwa) untuk menjawab pertanyaan penanya melebihi dari pertanyaannya, dan ini termasuk kesempurnaan nasihat, ilmu, dan bimbingannya. Siapa yang mencelanya, maka itu karena dangkalnya ilmu, sempitnya dada, dan lemahnya sifat nasihat."
➖ Syaikh Al-Basâm menyatakan, "Pentingnya menambah keterangan dalam fatwa atas satu pertanyaan. Hal itu apabila mufti menganggap bahwa penanya tidak mengerti hukum tersebut atau ia tertimpa masalah tersebut, sebagaimana dalam bangkai hewan laut pada orang yang menyeberangi lautan. Ibnu Al-Arabi menyatakan, 'Itu termasuk nilai-nilai positif fatwa dengan menjawab melebihi pertanyaan untuk menyempurnakan faedahnya dan menyampaikan ilmu yang tidak ditanyakan. Ini akan sangat penting apabila nampak kebutuhan terhadap hukum tersebut.'." (Taudhih Al-Ahkâm 1/117)
➖ Para ulama memberikan penjelasan mengapa Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam menambah jawaban melebihi yang ditanya, karena beberapa faedah, di antaranya:
a. Kebutuhan orang tersebut kepada bangkai hewan laut, karena dia berlayar di lautan, sehingga kadang butuh untuk makan hewan laut, seperti ikan. Padahal, umumnya hewan laut bila dibawa ke perahu, maka akan mati menjadi bangkai.
b. Diperkirakan dengan hipotesa kuat bahwa penanya tidak tahu hukum bangkai hewan laut. Kalau tidak tahu hukum kesucian air laut, maka lebih-lebih lagi hukum bangkai hewannya. Ditambah lagi kaidah yang sudah diketahui semua orang bahwa pada asalnya bangkai itu haram dimakan.
7). Jawaban, “...Suci airnya,” termasuk jawâmi’ al-kalim, sebab sangat mungkin Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam menjawab dengan, “Ya..,” saja. Namun, beliau tidak menjawab dengan ringkas, karena beberapa sebab:
a ➖ Agar tidak terpahami bahwa kebolehan berwudhu dengan air laut hanya dalam keadaan darurat saja, seperti keadaan yang diceritakan penanya.
b ➖ Agar tidak terpahami bolehnya berwudhu dengan air laut saja tetapi tidak boleh digunakan selainnya.
c ➖ Untuk menjelaskan hukum dengan sebab hukumnya, yaitu kesucian air laut. Dengan demikian, jelaslah bahwa semua air yang suci dan mensucikan (thahûr) boleh digunakan untuk bersuci.
8). Adanya kaidah: "Ilmu terlebih dahulu sebelum beramal."
9). Hadits ini menunjukkan kedermawanan Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam dalam ilmu, sebagaimana beliau dermawan dalam harta, kedudukan, dan jiwanya.
10). Bolehnya berlayar mengarungi lautan untuk berdagang atau tujuan mubah lainnya, meskipun bukan untuk berjihad.
11). Bolehnya membawa bekal ketika safar. Hal ini menyalahi perbuatan kaum Shufi yang melarang membawa bekal ketika safar.
12). Kewajiban memelihara dan menjaga diri dari kebinasaan, seperti kelaparan dan kehausan.
13). Adanya kaidah ushul: “Menolak kerusakan didahulukan dari mengambil manfaat.”
14). Syariat Islam itu sangat mudah bagi mereka yang paham dan ikhlas.
15). Seseorang tidak dibebani kecuali sesuai kemampuannya.
16). Syariat Islam selalu memberikan jalan keluar bagi segala kesulitan.
17). Air laut itu suci dan mensucikan. Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-'Utsaimîn menyatakan, "Air laut itu suci lagi mensucikan seluruhnya, tanpa pengecualian." (Fat-hul Jalal wal Ikram 1/60)
18). Bangkai hewan atau binatang laut itu halal dimakan, mencakup semua hewan yang hidup di air dan bukan hewan darat yang mati di air.
19). Bangkai binatang laut itu halal dan suci, sebab dalam kaidah dikatakan: "Semua yang halal itu suci, dan tidak semua yang suci itu halal. Setiap najis itu haram, dan tidak semua yang haram itu najis." (Fat-hul Jalal wal Ikram 1/60)
20). Bolehnya berwudhu dengan air yang telah bercampur dengan sesuatu hingga berubah rasa, bau, atau warnanya selama tidak kemasukan najis, dan selama penamaannya tetap air, bukan yang telah berubah menjadi air teh, air kopi, dan lain-lain.
21). Islam mengatur hidup dan kehidupan manusia, dunia mereka dan akhirat mereka.
22). Air laut itu suci dan mensucikan, serta tidak keluar dari hukum ini sama sekali. Oleh karenanya, diperbolehkan bersuci dengan air laut dari hadats kecil atau besar, dan bersuci dari najis.
23). Penjelasan hukum bangkai hewan laut yang tidak hidup kecuali di air.
24). Pengertian hadits ini menunjukkan pengharaman bangkai hewan darat.
25). Kewajiban merujuk kepada ulama ketika ada masalah, karena shahabat ini merujuk kepada Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam ketika mendapatkan masalah dalam bersuci dengan air laut.
26). Para shahabat tidak bersuci dengan air laut karena asin, bergaram, dan baunya amis. Air yang demikian tidak diminum. Sehingga, para shahabat menganggap bahwa yang tidak diminum, maka tidak bisa digunakan untuk bersuci. Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam tidak menjawab hanya dengan kata, “Ya..,” ketika mereka bertanya, “Apakah kami boleh berwudhu dengannya?” agar kebolehan berwudhu dengannya itu terpahami: 'tidak terikat dengan keadaan darurat semata, bahkan untuk semua keadaan', dan juga agar tidak dipahami kebolehan tersebut hanya untuk berwudhu semata, namun boleh untuk menghilangkan hadats besar dan mensucikan najis.
〰〰〰〰〰
⬇️ 7. MASALAH-MASALAH FIQIH ⬇️
✏️ Air Laut itu Suci dan Mensucikan
Terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama seputar hukum air laut –dalam penggunaan air laut untuk berwudhu– dalam dua pendapat:
Pendapat pertama: Air laut itu suci dan mensucikan, serta boleh digunakan dalam bersuci, baik mendapati air yang lain atau tidak mendapati.
➖ Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari para shahabat, tabi'in, dan yang setelah mereka.
➖ Inilah pendapat Abu Bakar, Ibnu Abbas, dan Umar. Diriwayatkan juga dari Uqbah bin 'Amir dan 'Abdullâh bin 'Amru.
➖ Inipun pendapat Atha`, Ibnu Sirin, Al-Hasan, Ikrimah, Thawus, Ibrahim An-Nakhâi, Sufyân Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Ahlu Syam-Madinah-Kufah, Abu 'Ubaid, dan Ishâq. (Lihat Mushannaf Ibnu Abî Syaibah 1/130, Sunan Ad-Dâraquthniy 1/35-36, dan Al-Ausath karya Ibnu Al-Mundzir 1/247)
➖ Ini adalah pendapat al-madzâhib al-arba’ah (madzhab fiqih yang empat). (Lihat: Bada’i` Ash-Shanâi` 1/15, Ahkâm Al-Qurân karya Ibnu Al-Arabi 1/43, Al-Majmû’'1/136, dan Al-Mughni 1/22-23)
➖ Dan juga pendapat Ibnu Hazm. (Lihat Al-Muhalla 1/210)
Di antara argumentasi pendapat ini adalah:
1. Hadits Abu Hurairah ini.
2. Firman Allâh Ta'âlâ:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدُُ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَايُرِيدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allâh tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Mâidah: 6)
➖ Kata (( مَآءً )) dalam ayat ini bersifat umum, mencakup semua air, kecuali yang dikhususkan oleh dalil. Dan Air laut termasuk dalam keumuman air tersebut.
3. Firman Allah Ta'âlâ:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَادُمْتُمْ حُرُمًا وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
➖ Kata (( مَآءً )) dalam ayat ini bersifat umum, mencakup semua air, kecuali yang dikhususkan oleh dalil. Dan Air laut termasuk dalam keumuman air tersebut.
3. Firman Allah Ta'âlâ:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَادُمْتُمْ حُرُمًا وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
"Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan. Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan." (QS. Al-Mâidah: 96)
➖ Apabila hewan laut halal bagi kita, maka –demikian juga– airnya suci.
4. Sebagian ulama mengklaim adanya ijma' tentang "air laut itu suci dan mensucikan", di antaranya Ibnu Juzâ` dari kalangan ulama Mâlikiyah, dalam kitab Al-Qawânin Al-Fiqhiyyah (hlm. 44), menyatakan, "Air muthlaq adalah air yang masih berada pada asal penciptaannya, maka ia suci mensucikan secara ijma', baik airnya tawar atau asin, baik dari laut, langit, atau tanah."
➖ Penukilan ijma' seperti ini lemah dan tidak benar, sebab Ibnu Al-Mundzir dalam Al-Ausâth (1/246), menyatakan, "Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama yang aku hafal dan aku temui bahwa, 'Orang yang bersuci dengan air, sah..,' kecuali air laut, karena ada perbedaan pendapat dan berita dari para ulama terdahulu."
➖ Sedangkan, Ibnu 'Abdilbarr dalam At-Tamhid (16/221), menyatakan, "Telah bersepakat mayoritas ulama dan banyak sekali imam-imam fatwa di seluruh negeri dari kalangan ahli fiqih bahwa, 'Air laut itu suci, dan wudhu diperbolehkan dengannya,' kecuali yang diriwayatkan dari 'Abdullâh bin Umar bin Al-Khaththâb dan 'Abdullâh bin 'Amru bin Al-Ash. Diriwayatkan bahwa keduanya memakruhkan berwudhu dengan air laut. Tidak ada seorangpun ahli fiqih dunia yang tidak menyepakati hal tersebut, serta tidak memandang dan melihatnya."
Pendapat kedua: Dimakruhkan menggunakan air laut dalam berwudhu.
➖ Ini adalah pendapat yang diriwayatkan dari 'Abdullâh bin Umar dan 'Abdulâh bin 'Amru bin Al-‘Ash, sebagaimana diisyaratkan Ibnu 'Abdilbarr.
➖ Ibnu Abî Syaibah meriwayatkan dalam Al-Mushannaf (1/122) dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra (4/334) dari 'Abdullâh bin 'Amru, beliau berkata, "Air laut tidak sah digunakan untuk berwudhu dan mandi junub. Sungguh, di bawah laut ada api, kemudian air, kemudian api."– Yang rajih dan benar tentulah pendapat pertama, karena adanya nash dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam tentang kesucian air laut dalam hadits Abu Hurairah di atas.
✏️ Kehalalan Bangkai Hewan Laut
Hewan laut atau air dibagi oleh para ulama menjadi dua:
➖ Hewan air yang hanya hidup di dalam air, dan bila keluar ke daratan, maka akan mati seperti hewan yang disembelih. Contohnya: ikan dan sejenisnya.
➖ Hewan air yang dapat hidup di daratan juga, dinamakan sebagian orang dengan al-barma`i (yang hidup di dua alam), seperti buaya, kepiting, dan sejenisnya.
Para ulama berbeda pendapat dalam hukum memakan hewan air dalam beberapa pendapat:
Pendapat pertama: Seluruh hewan laut adalah halal.
Inilah pendapat Mâlikiyah dan Syâfi’iyah. Mereka berdalil dengan keumuman firman Allah:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
➖ Apabila hewan laut halal bagi kita, maka –demikian juga– airnya suci.
4. Sebagian ulama mengklaim adanya ijma' tentang "air laut itu suci dan mensucikan", di antaranya Ibnu Juzâ` dari kalangan ulama Mâlikiyah, dalam kitab Al-Qawânin Al-Fiqhiyyah (hlm. 44), menyatakan, "Air muthlaq adalah air yang masih berada pada asal penciptaannya, maka ia suci mensucikan secara ijma', baik airnya tawar atau asin, baik dari laut, langit, atau tanah."
➖ Penukilan ijma' seperti ini lemah dan tidak benar, sebab Ibnu Al-Mundzir dalam Al-Ausâth (1/246), menyatakan, "Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama yang aku hafal dan aku temui bahwa, 'Orang yang bersuci dengan air, sah..,' kecuali air laut, karena ada perbedaan pendapat dan berita dari para ulama terdahulu."
➖ Sedangkan, Ibnu 'Abdilbarr dalam At-Tamhid (16/221), menyatakan, "Telah bersepakat mayoritas ulama dan banyak sekali imam-imam fatwa di seluruh negeri dari kalangan ahli fiqih bahwa, 'Air laut itu suci, dan wudhu diperbolehkan dengannya,' kecuali yang diriwayatkan dari 'Abdullâh bin Umar bin Al-Khaththâb dan 'Abdullâh bin 'Amru bin Al-Ash. Diriwayatkan bahwa keduanya memakruhkan berwudhu dengan air laut. Tidak ada seorangpun ahli fiqih dunia yang tidak menyepakati hal tersebut, serta tidak memandang dan melihatnya."
Pendapat kedua: Dimakruhkan menggunakan air laut dalam berwudhu.
➖ Ini adalah pendapat yang diriwayatkan dari 'Abdullâh bin Umar dan 'Abdulâh bin 'Amru bin Al-‘Ash, sebagaimana diisyaratkan Ibnu 'Abdilbarr.
➖ Ibnu Abî Syaibah meriwayatkan dalam Al-Mushannaf (1/122) dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra (4/334) dari 'Abdullâh bin 'Amru, beliau berkata, "Air laut tidak sah digunakan untuk berwudhu dan mandi junub. Sungguh, di bawah laut ada api, kemudian air, kemudian api."– Yang rajih dan benar tentulah pendapat pertama, karena adanya nash dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam tentang kesucian air laut dalam hadits Abu Hurairah di atas.
✏️ Kehalalan Bangkai Hewan Laut
Hewan laut atau air dibagi oleh para ulama menjadi dua:
➖ Hewan air yang hanya hidup di dalam air, dan bila keluar ke daratan, maka akan mati seperti hewan yang disembelih. Contohnya: ikan dan sejenisnya.
➖ Hewan air yang dapat hidup di daratan juga, dinamakan sebagian orang dengan al-barma`i (yang hidup di dua alam), seperti buaya, kepiting, dan sejenisnya.
Para ulama berbeda pendapat dalam hukum memakan hewan air dalam beberapa pendapat:
Pendapat pertama: Seluruh hewan laut adalah halal.
Inilah pendapat Mâlikiyah dan Syâfi’iyah. Mereka berdalil dengan keumuman firman Allah:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
"Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut, sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan. Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan." (QS. Al-Maidah: 96)
Dan juga mereka berdalil hadits Abu Hurairah yang kita bahas ini. Ayat dan hadits ini bersifat umum pada semua hewan laut.
Pendapat kedua: Seluruh hewan laut atau hewan air adalah halal, kecuali katak, buaya, dan ular.
Ini adalah pendapat Hanbaliyah. Mereka berdalil dengan keumuman ayat dan hadits yang digunakan argumen oleh pendapat pertama; namun mengecualikan katak karena katak merupakan hewan yang dilarang untuk membunuhnya; mengecualikan buaya karena ia buas, memangsa dengan taringnya, dan memangsa manusia; sedangkan ular karena termasuk yang menjijikkan.
Pendapat ketiga: Semua yang ada di dalam laut diharamkan, kecuali ikan. Ikan dihalalkan untuk dimakan, kecuali ikan yang sudah mati mengambang di permukaan laut.
Ini adalah pendapat dalam madzhab Abu Hanifah (Hanafiyah). Mereka berdalil pada keumuman firman Allah:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ
Dan juga mereka berdalil hadits Abu Hurairah yang kita bahas ini. Ayat dan hadits ini bersifat umum pada semua hewan laut.
Pendapat kedua: Seluruh hewan laut atau hewan air adalah halal, kecuali katak, buaya, dan ular.
Ini adalah pendapat Hanbaliyah. Mereka berdalil dengan keumuman ayat dan hadits yang digunakan argumen oleh pendapat pertama; namun mengecualikan katak karena katak merupakan hewan yang dilarang untuk membunuhnya; mengecualikan buaya karena ia buas, memangsa dengan taringnya, dan memangsa manusia; sedangkan ular karena termasuk yang menjijikkan.
Pendapat ketiga: Semua yang ada di dalam laut diharamkan, kecuali ikan. Ikan dihalalkan untuk dimakan, kecuali ikan yang sudah mati mengambang di permukaan laut.
Ini adalah pendapat dalam madzhab Abu Hanifah (Hanafiyah). Mereka berdalil pada keumuman firman Allah:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya. Dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala, dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan." (QS. Al-Mâidah: 3)
Dalam ayat ini, Allah tidak merinci antara hewan laut dengan darat, sehingga berlaku umum.
Dan juga firman Allah:
يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Dalam ayat ini, Allah tidak merinci antara hewan laut dengan darat, sehingga berlaku umum.
Dan juga firman Allah:
يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
"...Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk." (QS. Al-A’raf: 157)
Selain ikan, semua hewan laut adalah buruk (khabîts), seperti kepiting dan lainnya.
Pendapat keempat: Dibolehkan memakan hewan laut selain ikan. Apabila yang serupa dengannya dari hewan darat, maka halal dimakan. Misalnya: babi laut diharamkan, karena babi darat diharamkan; anjing laut haram, karena anjing darat haram.
Ini adalah salah satu pandapat dalam madzhab Syâfi’iyah dan salah satu pendapat dari madzhab Hanbaliyah. Dalilnya adalah qiyâs (analogi) hewan laut dengan hewan darat, karena kesamaan nama, maka diberi hukum yang sama.
- Pendapat yang rajih: Syaikh Prof. Dr. Shâlih bin 'Abdullâh bin Fauzân Al-Fauzân merajihkan pendapat Mâlikiyah dan Syâfi'iyah (pada pendapat pertama) dengan dasar kuatnya dalil mereka dan tidak adanya dalil yang mengkhususkan keumuman dalil-dalil mereka.
Kemudian, Syaikh membantah pendapat yang lainnya dengan menyatakan, "Dalil yang digunakan pendapat yang mengharamkan bangkai hewan laut berupa keumuman firman Allâh:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ
'Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,' (QS. Al-Mâidah: 3)
maka jawabnya adalah, ini adalah umum yang sudah dikhususkan dengan sabda Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam tentang air laut:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Air laut itu suci, (dan) halal bangkainya.”
Sedangkan, argumen mereka dengan keumuman firman Allah:
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
'Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.' (QS. Al-A’raf:157),
dalam mengharamkan kepiting, ular, dan sejenisnya dari hewan laut, maka tidak bisa diterima perihal: 'Ini semua adalah khabîts (buruk/menjijikkan).' Sekedar klaim: 'Ini termasuk yang menjijikkan,' tidak mengalahkan kegamblangan dalil-dalil (yang membolehkan). Sedangkan qiyâs (analogi) mereka: 'Semua yang ada di laut dengan hewan darat yang dilarang,' maka ini tidak sah, karena menyelisihi nash syari'at." (Al-Ath'imah, hlm. 78-79)
Demikian juga Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-Utsaimin merajihkan keumuman ini dalam pernyataan beliau, "Yang benar adalah tidak dikecualikan satupun dari hal itu. Semua hewan laut (air) yang tidak hidup kecuali di air adalah halal, baik yang hidup ataupun bangkainya, karena keumuman ayat yang telah kami sampaikan terdahulu." (Syarhu Al-Mumti' 15/35)
Wallâhu a’lam.
〰〰〰〰〰
Selain ikan, semua hewan laut adalah buruk (khabîts), seperti kepiting dan lainnya.
Pendapat keempat: Dibolehkan memakan hewan laut selain ikan. Apabila yang serupa dengannya dari hewan darat, maka halal dimakan. Misalnya: babi laut diharamkan, karena babi darat diharamkan; anjing laut haram, karena anjing darat haram.
Ini adalah salah satu pandapat dalam madzhab Syâfi’iyah dan salah satu pendapat dari madzhab Hanbaliyah. Dalilnya adalah qiyâs (analogi) hewan laut dengan hewan darat, karena kesamaan nama, maka diberi hukum yang sama.
- Pendapat yang rajih: Syaikh Prof. Dr. Shâlih bin 'Abdullâh bin Fauzân Al-Fauzân merajihkan pendapat Mâlikiyah dan Syâfi'iyah (pada pendapat pertama) dengan dasar kuatnya dalil mereka dan tidak adanya dalil yang mengkhususkan keumuman dalil-dalil mereka.
Kemudian, Syaikh membantah pendapat yang lainnya dengan menyatakan, "Dalil yang digunakan pendapat yang mengharamkan bangkai hewan laut berupa keumuman firman Allâh:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ
'Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,' (QS. Al-Mâidah: 3)
maka jawabnya adalah, ini adalah umum yang sudah dikhususkan dengan sabda Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam tentang air laut:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Air laut itu suci, (dan) halal bangkainya.”
Sedangkan, argumen mereka dengan keumuman firman Allah:
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
'Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.' (QS. Al-A’raf:157),
dalam mengharamkan kepiting, ular, dan sejenisnya dari hewan laut, maka tidak bisa diterima perihal: 'Ini semua adalah khabîts (buruk/menjijikkan).' Sekedar klaim: 'Ini termasuk yang menjijikkan,' tidak mengalahkan kegamblangan dalil-dalil (yang membolehkan). Sedangkan qiyâs (analogi) mereka: 'Semua yang ada di laut dengan hewan darat yang dilarang,' maka ini tidak sah, karena menyelisihi nash syari'at." (Al-Ath'imah, hlm. 78-79)
Demikian juga Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-Utsaimin merajihkan keumuman ini dalam pernyataan beliau, "Yang benar adalah tidak dikecualikan satupun dari hal itu. Semua hewan laut (air) yang tidak hidup kecuali di air adalah halal, baik yang hidup ataupun bangkainya, karena keumuman ayat yang telah kami sampaikan terdahulu." (Syarhu Al-Mumti' 15/35)
Wallâhu a’lam.
〰〰〰〰〰
Dikumpulkan dari Grup WA Kajian Hadits ~ KlikUK.com
• Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
• Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
• Kitab Thaharah
• Bab Air
• Syarah Hadits ke-1 (Halaqah 01 sampai 14)
• KH-Center : 0822-1111-4443 (WA)
_____________________________________________________________
➖➖➖➖➖
📝 Simulasi Evaluasi Harian 1
Apakah pengertian kata "kitab" yang dimaksud oleh Ibnu Hajar dalam "Kitâb Ath-Thahârah"?
A. Kumpul atau bersatu.
B. Semua yang menyatukan beberapa bab pembahasan atau fasal.
C. Semua yang ditulis di atas kertas.
Jawab: B.
➖➖➖➖➖
📝 Simulasi Evaluasi Harian 2
1. Thaharah yang menjadi bagian dari pembahasan ilmu fikih adalah ...
A. Thaharah ma'nawiyah
B. Thaharah hissiyah
C. Jawaban di atas semua benar
D. Jawaban di atas semua salah
Jawab: B.
2. Thaharah badan terbagi menjadi ...
A. Thaharah dari hadats
B. Thaharah dari najis
C. Jawaban di atas semua benar
D. Jawaban di atas semua salah
Jawab: C.
3. Thaharah dari hadats dapat dilakukan dengan ...
A. Mandi
B. Wudhu
C. Tayamum
D. Jawaban di atas semua benar
Jawab: D.
➖➖➖➖➖
📝 Simulasi Evaluasi Harian 3
1. Apakah makna "Bab" yang diinginkan oleh Imam Ibnu Hajar dalam pernyataan beliau "Bâb al-Miyâh"?
A. Pintu
B. Tempat masuk ke dalam sesuatu
C. Kumpulan fasal-fasal (sub pokok bahasan)
Jawab: C.
2. Apakah makna dari "al-miyâh"?
A. Air
B. Debu
C. Salju
Jawab: A.
➖➖➖➖➖
〰〰〰〰〰
📝 Simulasi Ujian
1. Siapakah nama penulis kitab yang sedang kita kaji?
A. Ahmad bin 'Ali bin Hajar Al-'Asqalâni
B. Muhammad bin 'Ali bin Hajar Al-'Asqalâni
C. 'Ali bin Ahmad bin Hajar Al-'Asqalâni
D. Ahmad bin Muhammad bin Hajar Al-'Asqalâni
➖ Jawaban: A.
2. Kapan beliau dilahirkan?
A. tahun 853 H
B. tahun 774 H
C. tahun 773 H
D. tahun 852 H
➖ Jawaban: C.
3. Kapan beliau wafat?
A. tahun 852 H
B. tahun 854 H
C. tahun 856 H
D. tahun 858 H
➖ Jawaban: A.
4. Apa nama kitab yang sedang kita kaji?
A. Bulûgh Al-Marâm min Adillati Al-Ahkâm
B. Bulûgh Al-Marâm fî Adillati Al-Ahkâm
C. Bulûgh Al-Marâm 'alâ Adillati Al-Ahkâm
D. Bulûgh Al-Marâm min Dalil Al-Ahkâm
➖ Jawaban: A.
5. Kitab yang kita kaji ini mengumpulkan hadits-hadits berkenaan dengan masalah-masalah pokok dalam fikih dan hukum syari'at. Dalam istilah para ulama dinamakan:
A. kitab hadits Fiqih
B. kitab hadits Aqîdah
C. kitab hadits Shahîh
D. kitab hadits Ahkâm
➖ Jawaban: D.
6. Apabila satu hadits dikeluarkan oleh Ahmad, Abû Dâwud, At-Tirmidzi, An-Nasâi, dan Ibnu Mâjah, maka Ibnu Hajar menyingkatnya dengan rumus :
A. Ats-Tsalâtsah
B. Al-Arba'ah
C. Al-Khamsah
D. As-Sittah
➖ Jawaban: C.
7. Berikut ini adalah sebab penulisan kitab Bulûghul Marâm, kecuali...
A. Meringkas hadits-hadits yang menjadi induk dalam masalah fikih.
B. Mengumpulkan semua hadits yang shahih.
C. Memberikan kemudahan dan bantuan kepada para pelajar pemula dan para ulama dalam mengenal dasar hukum-hukum fikih.
D. Bentuk keinginan memberikan nasihat kepada umat dengan menyebarkan ilmu dan hadits Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam.
➖ Jawaban: B.
8. Berikut ini adalah nama para imam yang dijadikan rujukan dalam kitab Bulûghul Marâm, kecuali...
A. Imam Abu Abdullâh Mâlik bin Anas bin Mâlik Al-Ashbahi.
B. Imam Abu Dâwud Sulaimân bin Dâwud bin Al-Jârud Ath-Thayâlisi
C. Imam Abu Abdullâh Abdul'azîz bin Abdullâh bin Bâz.
D. Imam Abu Abdullâh Muhammad bin Idrîs Asy-Syâfi'i.
➖ Jawaban: C.
9. Berikut ini adalah nama kitab yang menjelaskan isi kandungan kitab Bulûghul Marâm, kecuali...
A. Mukhtashar Al-Kalâm 'alâ Bulûgh Al-Marâm, karya Syaikh Faishal bin Abdilaziz bin Mubaarak.
B. Fiqhu Al-Islâm Syarhu Bulûgh Al-Marâm, karya Syaikh Abdulqâdir Syaibat Al-Hamd.
C. Taudhih Al-Ahkâm min Bulûgh Al-Marâm, karya Syaikh Abdullâh bin Abdurrahmân Alu Basâm.
D. Nail Al-Authâr, karya Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukâni.
➖ Jawaban: D.
10. Kitab Bulûghul Marâm dimulai dengan...
A. Kitab Thaharah
B. Kitab Shalat
C. Kitab Air
D. Kitab Puasa
➖ Jawaban: A.
〰〰〰〰〰
➖➖➖➖➖
📝 SOAL & JAWABAN EVALUASI HARIAN 01
1. Siapakah nama perawi hadits 1 ini?
A. Abdullâh bin Shakhar Ad-Dausi
B. Abdurrahmân bin Shakhar Ad-Dausi
C. Abdurrahmân bin Shakhar Al-Andalusi
➖ Jawab: B.
2. Siapa nama kunyah dari perawi hadits ini?
A. Abu Hurairah
B. Abu Humairah
C. Abu Abdurrahmân
➖ Jawab : A.
3. Manakah di antara pernyataan di bawah ini yang TIDAK BENAR mengenai biografi perawi hadits 1 ini?
A. Beliau termasuk salah seorang shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.
B. Beliau termasuk ahlu shuffah.
C. Beliau meninggal saat perang Khaibar.
➖ Jawab: C.
〰〰〰〰〰
➖➖➖➖➖
📝 SOAL & JAWABAN EVALUASI HARIAN 02
1. Di bawah ini yang termasuk dalam pengertian "takhrij" secara istilah, kecuali...
A. Sanad hadits
B. Derajat hadits
C. Matan hadits
➖ Jawab: C.
2. Hadits 1 ini di-takhrij oleh...
A. Al-Bukhâri dan Muslim
B. Abu Hurairah
C. Al-Arba'ah
➖ Jawab : C.
3. Derajat hadits 1 ini adalah...
A. Shahih
B. Hasan
C. Dha'if
➖ Jawab: A.
〰〰〰〰〰
• Syarah Hadits ke-1 (Halaqah 01 sampai 14)
• KH-Center : 0822-1111-4443 (WA)
_____________________________________________________________
KUMPULAN SOAL EVALUASI HARIAN
➖➖➖➖➖
📝 Simulasi Evaluasi Harian 1
Apakah pengertian kata "kitab" yang dimaksud oleh Ibnu Hajar dalam "Kitâb Ath-Thahârah"?
A. Kumpul atau bersatu.
B. Semua yang menyatukan beberapa bab pembahasan atau fasal.
C. Semua yang ditulis di atas kertas.
Jawab: B.
➖➖➖➖➖
📝 Simulasi Evaluasi Harian 2
1. Thaharah yang menjadi bagian dari pembahasan ilmu fikih adalah ...
A. Thaharah ma'nawiyah
B. Thaharah hissiyah
C. Jawaban di atas semua benar
D. Jawaban di atas semua salah
Jawab: B.
2. Thaharah badan terbagi menjadi ...
A. Thaharah dari hadats
B. Thaharah dari najis
C. Jawaban di atas semua benar
D. Jawaban di atas semua salah
Jawab: C.
3. Thaharah dari hadats dapat dilakukan dengan ...
A. Mandi
B. Wudhu
C. Tayamum
D. Jawaban di atas semua benar
Jawab: D.
➖➖➖➖➖
📝 Simulasi Evaluasi Harian 3
1. Apakah makna "Bab" yang diinginkan oleh Imam Ibnu Hajar dalam pernyataan beliau "Bâb al-Miyâh"?
A. Pintu
B. Tempat masuk ke dalam sesuatu
C. Kumpulan fasal-fasal (sub pokok bahasan)
Jawab: C.
2. Apakah makna dari "al-miyâh"?
A. Air
B. Debu
C. Salju
Jawab: A.
➖➖➖➖➖
〰〰〰〰〰
📝 Simulasi Ujian
1. Siapakah nama penulis kitab yang sedang kita kaji?
A. Ahmad bin 'Ali bin Hajar Al-'Asqalâni
B. Muhammad bin 'Ali bin Hajar Al-'Asqalâni
C. 'Ali bin Ahmad bin Hajar Al-'Asqalâni
D. Ahmad bin Muhammad bin Hajar Al-'Asqalâni
➖ Jawaban: A.
2. Kapan beliau dilahirkan?
A. tahun 853 H
B. tahun 774 H
C. tahun 773 H
D. tahun 852 H
➖ Jawaban: C.
3. Kapan beliau wafat?
A. tahun 852 H
B. tahun 854 H
C. tahun 856 H
D. tahun 858 H
➖ Jawaban: A.
4. Apa nama kitab yang sedang kita kaji?
A. Bulûgh Al-Marâm min Adillati Al-Ahkâm
B. Bulûgh Al-Marâm fî Adillati Al-Ahkâm
C. Bulûgh Al-Marâm 'alâ Adillati Al-Ahkâm
D. Bulûgh Al-Marâm min Dalil Al-Ahkâm
➖ Jawaban: A.
5. Kitab yang kita kaji ini mengumpulkan hadits-hadits berkenaan dengan masalah-masalah pokok dalam fikih dan hukum syari'at. Dalam istilah para ulama dinamakan:
A. kitab hadits Fiqih
B. kitab hadits Aqîdah
C. kitab hadits Shahîh
D. kitab hadits Ahkâm
➖ Jawaban: D.
6. Apabila satu hadits dikeluarkan oleh Ahmad, Abû Dâwud, At-Tirmidzi, An-Nasâi, dan Ibnu Mâjah, maka Ibnu Hajar menyingkatnya dengan rumus :
A. Ats-Tsalâtsah
B. Al-Arba'ah
C. Al-Khamsah
D. As-Sittah
➖ Jawaban: C.
7. Berikut ini adalah sebab penulisan kitab Bulûghul Marâm, kecuali...
A. Meringkas hadits-hadits yang menjadi induk dalam masalah fikih.
B. Mengumpulkan semua hadits yang shahih.
C. Memberikan kemudahan dan bantuan kepada para pelajar pemula dan para ulama dalam mengenal dasar hukum-hukum fikih.
D. Bentuk keinginan memberikan nasihat kepada umat dengan menyebarkan ilmu dan hadits Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam.
➖ Jawaban: B.
8. Berikut ini adalah nama para imam yang dijadikan rujukan dalam kitab Bulûghul Marâm, kecuali...
A. Imam Abu Abdullâh Mâlik bin Anas bin Mâlik Al-Ashbahi.
B. Imam Abu Dâwud Sulaimân bin Dâwud bin Al-Jârud Ath-Thayâlisi
C. Imam Abu Abdullâh Abdul'azîz bin Abdullâh bin Bâz.
D. Imam Abu Abdullâh Muhammad bin Idrîs Asy-Syâfi'i.
➖ Jawaban: C.
9. Berikut ini adalah nama kitab yang menjelaskan isi kandungan kitab Bulûghul Marâm, kecuali...
A. Mukhtashar Al-Kalâm 'alâ Bulûgh Al-Marâm, karya Syaikh Faishal bin Abdilaziz bin Mubaarak.
B. Fiqhu Al-Islâm Syarhu Bulûgh Al-Marâm, karya Syaikh Abdulqâdir Syaibat Al-Hamd.
C. Taudhih Al-Ahkâm min Bulûgh Al-Marâm, karya Syaikh Abdullâh bin Abdurrahmân Alu Basâm.
D. Nail Al-Authâr, karya Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukâni.
➖ Jawaban: D.
10. Kitab Bulûghul Marâm dimulai dengan...
A. Kitab Thaharah
B. Kitab Shalat
C. Kitab Air
D. Kitab Puasa
➖ Jawaban: A.
〰〰〰〰〰
➖➖➖➖➖
📝 SOAL & JAWABAN EVALUASI HARIAN 01
1. Siapakah nama perawi hadits 1 ini?
A. Abdullâh bin Shakhar Ad-Dausi
B. Abdurrahmân bin Shakhar Ad-Dausi
C. Abdurrahmân bin Shakhar Al-Andalusi
➖ Jawab: B.
2. Siapa nama kunyah dari perawi hadits ini?
A. Abu Hurairah
B. Abu Humairah
C. Abu Abdurrahmân
➖ Jawab : A.
3. Manakah di antara pernyataan di bawah ini yang TIDAK BENAR mengenai biografi perawi hadits 1 ini?
A. Beliau termasuk salah seorang shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.
B. Beliau termasuk ahlu shuffah.
C. Beliau meninggal saat perang Khaibar.
➖ Jawab: C.
〰〰〰〰〰
➖➖➖➖➖
📝 SOAL & JAWABAN EVALUASI HARIAN 02
1. Di bawah ini yang termasuk dalam pengertian "takhrij" secara istilah, kecuali...
A. Sanad hadits
B. Derajat hadits
C. Matan hadits
➖ Jawab: C.
2. Hadits 1 ini di-takhrij oleh...
A. Al-Bukhâri dan Muslim
B. Abu Hurairah
C. Al-Arba'ah
➖ Jawab : C.
3. Derajat hadits 1 ini adalah...
A. Shahih
B. Hasan
C. Dha'if
➖ Jawab: A.
〰〰〰〰〰
Tidak ada komentar:
Posting Komentar